Minggu, 07 April 2013

I'm Fallin In Love



Author: ARGE
Genre: Romance
Rate: General
Cast: Elle, Edgar
Other cast: Thian (just name), Selvie, Julia, Dee, Karlen, Rene, Ronald
Summary: there’s no need many word to explain what I’m feeling right now. I just need 8 letters. “I Love You”.


Aku. Aku adalah seorang gadis biasa yang baru mengerti apa itu artinya cinta. seseorang sudah mengenalkan aku pada rasa terindah itu. Tapi seseorang itu juga yang mengajari kalau cinta tak selama nya bisa memiliki. Cinta... kadang  dengan terpaksa harus dihancurkan, dan dimusnahkan.

Bohong, adalah ketika aku mengatakan aku sudah melupakan semua perasaan ku pada lelaki itu. Bohong, adalah ketika aku mengatakan aku sudah tidak mengharapkan dia kembali lagi kepada ku. Ya... itu juga suatu kebohongan, karena selama ini aku tak pernah memilikinya. Dia lah yang memiliki ku.

Cinta, sesuatu yang memang sangat sulit untuk dijelaskan. Sesuatu yang tak berbentuk namun anehnya dengan keras kepalanya melekat terus dalam lubuk hati. Aku sendiri sampai kewalahan untuk menghancurkan yang ada dalam hati ku. Berkali-kali aku berteriak, “Berhenti! Sudah cukup!” tapi cinta terlalu segan untuk menanggapi ku. Dengan keras kepalanya ia terus berada di dalam. Tak memedulikan sudah berapa banyak air mata yang jatuh karena nya.

Tapi waktu terus berjalan. Butiran pasir itu selalu mengalir tanpa ada seorang pun bisa menghentikannya, kecuali dihancurkan. Dan aku menyadari, mungkin aku sudah berhasil membenahi hati ku sendiri. Aku sudah berhasil melewati masa tersulit itu. Aku sudah bisa mandiri. Aku sudah bisa berdiri dengan kaki ku sendiri, tanpa lagi mengiba akan tongkat kasih sayang dari nya.

Aku sudah membebaskan diriku dari kerangkeng cinta, yang sebenarnya ku buat sendiri. Aku sudah berhasil mengepakkan sayap ku dan keluar dari kandang yang selama ini tak pernah terkunci. Dan aku sekarang bebas terbang diatas awan.

Terimakasih untuk dirinya. Kalau tidak karena dirinya, aku tak akan pernah menjadi dewasa. Dan aku akan selalu jadi lemah.


Sampai akhirnya aku menemukan dirinya. Sesosok yang berhasil menarik perhatian ku. Sesosok lelaki yang mungkin nyaris sempurna. Mungkin. Dia tinggi, pintar, cerdas, dan ramah. Aku pun jadi tertarik dengannya. “Nama nya Thian.” Ujarku senang pada sahabat ku, seorang gadis berambut panjang yang tengah melamun menatap lapangan sekolah dibawah sana dari lantai teratas sekolah ini.
“Apa?” tanya nya, bingung, menghadap kearah ku.
“Thian. Namanya Thian.” Aku mengulang perkataan ku. Ku tepuk pundak gadis itu—Selvie, sahabatku—dan ikut menyender pada pagar pembatas yang ada ditiap lantainya.
“Siapa Thian?” Selvie sepertinya tertarik dengan pembicaraan kami. Maksud ku, dia tidak mungkin tidak tertarik kalau untuk urusan pria.
“Gebetan baru ku.” Jawabku sambil menyengir. Dan kali ini Selvie tampak tercengang.
“Apa? Gebetan? Kau serius?!” kagetnya. “Jadi... kau dengan si—...”
Hey, that’s already overokay? Eh tidak juga sih, we never start anything, so yeah... hahaha.” Tawaku. Lebih tepatnya menertawakan diriku sendiri. Lama aku dan Selvie hanya terdiam, tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Sampai akhirnya ku dengar Selvie menghela napas panjang.
So, Thian, huh? Kau serius?” tanya Selvie.
“... Maybe.” Jawabku sambil menggedikan bahu ku.

I don’t know...  I don’t know for every question.

Waktu masih terus berjalan. Aku sampai berpikir, mengapa dia senang sekali bergerak? Tidakkah dia ingin istirahat untuk sebentar saja? Sampai-sampai aku tidak menyangka waktu berjalan sudah sampai sejauh ini. Dan aku sadar pada diriku sendiri, aku tidak mencintai Thian. Tidak seperti yang pernah kurasakan pada lelaki itu. Tidak. Aku mengagumi nya. Aku memang menyukainya. Tapi tidak ada perasaan yang lebih lagi dari itu. Kami lebih cocok menjadi sahabat ternyata.

Anehnya, ada perasaan lain yang tumbuh dalam hati ku. Perasaan lain yang datang dari orang lain. Orang lain yang sama sekali tidak terduga. Orang lain yang tak pernah terlintas dalam pikiran ku sedikit pun. Kejadian ini, seperti deja vu untuk diriku bukan?

Yang awalnya aku menyukai orang lain, tapi tiba-tiba perasaan itu memudar justru digantikan oleh orang lain yang sama sekali tak terduga akan bisa menarik perhatian ku. Sama seperti kejadian lalu. Aku sudah mengenalnya sejak lama. Tidak, sih, kami tidak berteman. Hanya sekedar saling mengenal saja. Karena dulu dia adalah kekasih teman ku. Hebatnya, aku justru berpikir saat itu, mengapa bisa mereka bersama? Mengapa teman ku memilih pria itu?

Dan aku terengah sekarang. Karma does exist.

***

I was secretly laughing at myself. I can’t believe how deep I’ve falling for you. You got into my mind with that charm. Now i’m like a fool that has fallen in love. –Super Junior-angel

“Edgar!” aku memanggil dirinya yang baru saja mau pergi dari ku. Dia menoleh dan menatap tepat kedalam mataku. Untuk beberapa saat aku terdiam. Syiiit. Aku sangat benci ketika mata kami saling bertemu seperti sekarang ini. Dia menatap ku, menunggu apa yang mau kukatakan. Pada akhirnya aku hanya mengatakan, “Kau remed.” Ujarku.
“Remed?” bingungnya.
“Iya, bahasa inggris.” Dan aku tidak menyadari apalagi yang kita bicarakan setelahnya. Bagai seluruh kesadaran ku terambil hanya karena asyik memerhatikan bola matanya, yang memantulkan bayangan diriku.

Hey... seberapa sering bayangan diriku terpantul di dalam situ, Edgar? Tidakkah kau tahu, hampir setiap saat dirimu terpantul dalam bola mataku? Lucu, ya?

Setelah dirinya beranjak pergi lagi. Saat itu juga kesadaran ku kembali. Seketika, bagaikan ada kupu-kupu berterbangan dalam perut ku, membuat rasanya dada ku sesak dan ingin mengeluarkan apa yang membebani hati ku. But I don’t know. Aku justru merasa senang dengan rasa aneh didalam diriku saat ini. Membuat ku lemas, dan jatuh kedalam pelukan sahabatku, yang sebenarnya sejak tadi berdiri disamping ku.

“Aaassh...” gumam ku tidak jelas, sambil memeluk sahabatku, yang lainnya. Rene. “I don’t know, I don’t knooooww...
“Apa sih. Kalau senang bukan begini juga, kali.” Ujar Rene. Saat kekuatan ku kembali, aku pun melepaskan pelukan ku dan menatap Rene.
“Rene... aku...”
“Aku tahu, aku tahu... kau memang sudah terlalu menyukainya, Elle.” Potong Rene sebelum diriku sendiri sanggup menyelesaikan kalimat ku. Aku hanya terdiam sambil mengangguk.

Kurasa, kali ini aku tahu. Aku tahu dengan pasti bagaimana perasaan ku. Aneh. Ini sangat aneh. Kenapa aku selalu begini? justru terjatuh untuk orang yang sama sekali bukan keinginan ku? Dan dengan ajaibnya, tanpa ada hal hebat yang ia lakukan, ia justru merubah segalanya. Sekarang ia membuatku justru sangat menginginkan dirinya.

Aku seperti orang bodoh. Orang bodoh yang sering kehilangan kesadaran begitu berada di dekatnya. Seperti orang bodoh yang tak mengerti ingin bicara apa saat dengannya. Seperti orang bodoh yang bisa menghabiskan waktu lama hanya untuk memperhatikan sosoknya dari jauh.

Aku tertawa, menangis, marah, dan cemburu, semua karena dirinya. Sial. Tuhan. Kenapa aku harus terjebak lagi dalam perasaan yang seperti ini. Tidak. Tidak ada kepastian apa-apa darinya. Sama seperti dulu. Bahkan ini lebih mengkhawatirkan karena kami tidak terlalu dekat. Untuk bicara saja aku harus mencari topik dulu.

“Sebentar lagi, El.” Selvie mengingatkan diriku. aku terdiam memandangi dirinya yang tengah duduk disebrang ku sambil mengambil cemilan.
“Apanya yang sebentar lagi?” bingung ku, menatap ke samping ku dimana ada dua sahabat terbaikku lainnya—Julia dan Dee—berpikir mungkin mereka mengerti apa yang dimaksud dengan Selvie.
“Ujian kelulusan.” Jawab Selvie. “Setelah ujian kelulusan maka pikirannya akan segera tenang, naah... saat itu lah dia akan mengejar mu.” Senyum Selvie, dan aku tahu ia tersenyum bukan karena ia memang ingin tersenyum. Tapi karena melihat aku yang langsung memerah bagaikan kepiting baru matang.
“Si-siapa bilang?” gugup ku, berusaha menyembunyikan salah tingkah ku. Walau itu terdengar tidak mungkin jika sudah dihadapan mereka.
“Coba pikir.” Kali ini Dee yang angkat bicara. “Kalau diperhatikan, dia memberikan respon positif pada mu, kok. Dan memang katanya dia ingin konsentrasi pada ujian dulu, kan? Sudahlah... tenang saja.”
“Iya, sebentar lagi kok. Cieee...” Julia justru meledeki ku. Dan aku hanya bisa tertawa. Ku anggap itu adalah doa untukku. Tapi... Tuhan, apakah salah jika aku berharap lebih darinya?

Agak aneh memang jika aku berharap banyak. Tidak ada yang terjadi antara kami berdua. Biasa-biasa saja. Aku bukanlah tipe gadis yang bisa bertindak agresif. Aku lebih ke pasif, yang hanya bisa berharap akan terjadinya sebuah keajaiban. Aku tahu itu salah. Harusnya aku memperjuangan cinta ku.

Tapi pikiran aneh selalu menghantui ku. Kalau ia terganggu bagaimana? Lagipula... aku ini tidak memliki kelebihan apa-apa. Tidak heran jika ia tidak menyukai ku. Dan bagaimana tanggapan nya jika ada seorang gadis yang ia tidak sukai, justru mendekati nya? Disgusting.

Hanya saling pandang. Bercanda biasa. mengobrol jika ada perlu. Dan yah... begitu-begitu saja. Egois kah aku jika aku mengharapkan lebih?

***
Please don’t stand so close to me, I’m having trouble breathing. I’m afraid of what you’ll see, right now.-Christina Perri ft. Jason Mraz-distance

Aku berlari menuju kamarku. Ku peluk erat boneka besar Angry Bird yang dibelikan papah. Betapa senangnya hati ku saat ini. Terlalu senang sampai aku tak mengerti aku harus bagaimana? Harus melakukan apa? Karena rasanya dada ini begitu sesak. Bukan, bukan berarti sesak yang menyiksa. Memang menyiksa, tapi aku senang. Aku suka rasa sesak yang menyiksa ini.

Ingin sekali aku berteriak sekeras-kerasnya, membuat semua orang tahu apa yang kurasa saat ini. Ingin sekali aku melompat setinggi-tinggi nya, berusaha untuk menyeimbangi rasa senang dalam hati ku. Ingin sekali ku peluk tiap orang yang ku temui, hanya untuk membagi rasa senang ku.

Tuhan... aku memang tak pernah berada di surga. Aku tidak tahu bagaimana rasanya. Tapi mungkin, seperti ini, ya, rasa nya bahagia di surga, itu? Aku berlebihan? pasti. Tapi aku tak peduli. Yang ku tahu hanyalah saat ini aku sedang sangat bahagia. Sangaaat bahagia!

Tidak lain lagi apa yang membuatku bisa merasa sesenang ini. Jelas ini semua karena seorang pria bernama Edgar. Ya... dia yang merubah ku jadi manusia tanpa jelas begini. Aku tidak tahu apakah ini bertanda bagus atau tidak, tapi aku dengan dirinya mengalami sebuah kemajuan.

“Ya. Kemajuan.” Ujar Karlen—sahabat terbaikku yang lainnya. Aku ingat kembali ketika tadi siang aku memeluk dirinya, sambil tersenyum-senyum senang.
“Iya, ya?” tanya ku, pura-pura bodoh.
“Iyalah.” Jawabnya, sedikit mendorong tubuhku. “Kemajuan pesat, malah menurutku. Dan itu bagus, kok. Cieee... selamat, ya. Semoga benar jadi, deh.” Senyum Karlen. Aku pun menyengir. Memang dari semua nya, biar Karlen terlihat cuek, tapi Karlen yang paling mengikuti perkembangan ku.

Ternyata memang yang dibutuhkan adalah keberanian. Sejak dulu juga orang-orang menasihati ku untuk berani bertindak. Harus berusaha memperjuangan cinta ku. Tapi aku mengeyel, dengan alasan tidak mau mengganggu dirinya hanya karena cinta ku. Tapi ternyata... seindah ini lah yang terjadi jika aku berani.

Tapi tak bisa ku pungkiri, ada rasa lain yang tumbuh di sisi lain hati ku. Rasa yang tak bisa ku hiraukan begitu saja. Rasa yang justru lebih besar, hampir mengalahkan kegembiraan ku saat ini.

Aku takut. Aku sangat takut.

Sudah berapa banyak aku mengalami hal ini. Terbang ke atas awan, dan terjun kebawah masuk ke pelosok terdalam perut bumi. Aku sudah sering merasakan hal itu. Aku sudah sangat berpengalaman menjadi bulan-bulanan cinta. dan aku begitu takut untuk merasa bahagia. Karena aku tahu, cepat atau lambat, aku akan di jatuhkan lagi.

Sudahlah... jangan dipikirkan. Yang terpenting saat ini adalah kemajuan yang terjadi antara kami berdua. Jangan pikirkan hal yang menakutkan lagi. Hey, Elle, tidakkah kau sendiri yang mengatakan ingin hidup dalam kebahagiaan? Kau sudah terbang sekarang, kau memiliki sayap. Kenapa kau harus takut untuk menyentuh awan-awan?

Ku buka ponsel ku. Memperhatikan foto yang menjadi wallpaper ponsel ku. Aku tersenyum, kembali teringat apa yang baru saja ku lakukan. Mengganti wallpaper ponsel nya menjadi foto ku? Ahahahaha. Aku memejamkan mata, membayangkan apa yang ia lakukan saat ini ketika melihat ponsel nya dan mengetahui wajah ku tersenyum kearahnya? Hey... Edgar. Aku tersenyum. Dan hanya untuk mu aku tersenyum. Coba perhatikan sekali lagi. Aku tak pernah memberikan senyuman itu untuk yang lainnya. Coba perhatikan mata ku. Di bola mataku, hanya terpantul bayangan mu.

Kau melihatnya?

Ku buka hystory chatting ku dengan dirinya. Sekali lagi, ingatan ku kembali melayang ke malam itu. Malam dimana aku duduk tepat berada di belakangnya, di atas motornya. Apakah saat itu kau merasakannya, debaran yang begitu kencang berasal dari diriku? apakah kau merasakannya juga? Apakah kau bisa merasakan betapa senangnya diriku? kau juga senang? Atau hanya diriku malam itu yang terlihat begitu bodoh, tersenyum pada diriku sendiri?

Untung kau tak menoleh kebelakang untuk melihat ku. Atau tidak kau akan tahu, kau akan sadar, aku begitu bodoh. Ya... aku sangat bodoh. Semua hanya karena sedang berada di dekatmu.

Rintik hujan malam itu, seharusnya terasa begitu menyakitkan untuk ku, mengingat kondisi kesehatan ku yang sedang buruk. Penyakit bawaan. Darah rendah sialan, yang membuat aku tak masuk sekolah dan tak bisa melihat dirimu. Untung lah kau datang hari itu, yang ku pikir aku tak akan melihat mu satu hari, tapi ternyata aku bisa. Apa kau melihat perbedaan raut wajah ku ketika kau tiba-tiba datang, Edgar?

Aku tak mengerti lagi apa yang bisa ku katakan untuk menjelaskan semua rasa dalam hati ku saat bersama mu. Aku tahu. Ini yang namanya cinta, bukan? Aku pernah merasakan ini sebelumnya. Aku sudah mengenal nya, dan aku tahu ia sekali datang. Ini cinta.

I keep thinking about you, that’s never fails to make me smile. You’ve captured me.—Super Junior- angel.

There’s no need many word to explain what I’m feeling right now. I just need 8 letters. “I Love You”.

***
Tell me to run and I’ll race. If you want me to stop, I’ll freeze. And if you want me gone, I’ll leave. –Adele, crazy for you.

Disini. Tidak ada yang ku lakukan. Tidak ada. Selain terdiam. Termenung menatapi tiap perkata yang ada di hadapan ku. Kata-kata yang membuat mata ku tak bisa lepas. Kata-kata yang membuat ku tak bisa merasakan apapun, selain panas nya mataku. Dan dingin nya air yang mengalir di pipi ku.

Tak ada yang bicara. Aku sendirian. Aku hanya bersama dengan diri ku sendiri. Tapi entah mengapa aku bisa mendengar seseorang bicara. Ia mengatakan sesuatu yang tidak pernah mau ku dengar. Tak akan pernah mau kudengar.

Aku tak mengerti. Apakah dewi cinta begitu suka mempermainkan diriku? apakah aku terlalu menarik untuk dijadikan bulan-bulanan nya? Sampai-sampai sekali lagi aku harus mengalami ini. Aku sudah bilang, aku sudah sangat berpengalaman dengan yang namanya terbang melayang, dan jatuh kembali. Tapi tak kusangka, ternyata dewi cinta begitu kejamnya pada diriku.

Seberapa banyak lagi luka yang mau ia taruhkan pada hatiku? Apa luka yang dulu belum cukup untuk menyakiti ku? Apa dia berniat untuk membunuh ku?

“El?” aku merasakan getar pada ponsel ku. Melihat seseorang memanggil nama ku. Ronald. Teman pria terdekat yang ku punya sekarang. satu-satu teman pria yang mengerti diriku. dan karena panggilannya, mau tidak mau aku kembali membaca kata-perkata yang baru saja aku terima dari dirinya. Saat ini aku memang sedang chatting dengan dirinya. “Kau tidak menangis, kan?” tanya nya.

Aku tersadarkan. Benar juga. Aku sudah menangis. Ku ketik perlahan demi perlahan keyboard touch –screen ponsel ku. “Nangis.” Jawabku, singkat. Melihat jawaban ku, Ronald pun menghibur ku. Ia meminta maaf atas kabar yang ia bawa untukku. Kabar yang menghancurkan segala nya. Kabar yang membuat hari ku berantakan.

Aku tak bisa bicara apa-apa. Aku bahkan tak mengerti aku harus menjawab Ronald dengan apa. Aku hanya bisa terdiam saat ini. Semua hancur.

Aku tak mau memikirkan ini. Tidak! Aku... aku sedang bahagia bukan? Jadi... lebih baik jangan dipikirkan... iya kan?

Aku... bahagia... bukan?

“Hey, Ronald. Thankyou.” Ketikku. Terimakasih untuk semuanya. Aku tahu ia sudah membantu ku segitu nya. Berkat dirinya, aku tidak akan terlihat bodoh di hadapan Edgar. Berkat dirinya, aku bisa tahu batasan diriku, bagaimana harusnya aku bertindak. Terimakasih atas semua doa-doa nya. Tapi sepertinya...

Aku memang harus mundur, ... ...iya bukan?

Sampai saat ini, ternyata Tuhan masih ingin bermain dengan ku. Edgar, bukan untukku. Begitu mungkin yang akan Ia katakan pada ku. Aku memang tak pantas. Aku memang tak memiliki apa-apa. Aku tak cantik. Aku tak pintar, apalagi cerdas. Aku tak semenarik kebanyakan gadis. Aku malah lebih seperti para pria yang bersikap cuek pada penampilan, dan masa bodoh. Aku memang tidak cocok untuknya. Aku tak memiliki kebanggaan pada diriku.

Yang ku punya hanyalah rasa sayang ku. Rasa sayang ku yang ternyata sudah begitu besar. Tapi... itu kurang, Elle. Aku tak akan pernah bisa mencukupi nya hanya dengan rasa sayang yang tulus. Siapa memang yang hanya ingin rasa sayang? Semua orang lebih suka pada yang menarik.

Pada akhirnya, aku harus membunuh sekali lagi perasaan ku. Ya... membunuhnya. Sebelum perasaan ini justru mengganggu dirinya.

***
It must be because I’m a fool. It must be okay even it hurts me.  Even when others say that is useless love. It doesn’t matter because I’m a fool.—Park Sang Woo-because I’m a fool.

Tahu apa yang lucu? Itu adalah aku. Ya... diriku... begitu lucu. Sehingga pantas untuk ditertawakan oleh semua orang. Karena, sesakit apapun yang kurasa saat ini, setelah mengetahui kalau seharusnya aku berhenti menyayangi Edgar, aku justru semakin mencintai nya.

Bodoh. Itu lah yang pantas untuk menjadi judul kehidupan ku. Karena aku selalu menjadi orang yang bodoh. Dari awal, bahkan sampai saat ini, aku tak pernah berubah, aku selalu bodoh.

Mengatakan aku harus membunuh perasaan ku, tapi pada kenyataannya aku tak bisa. Rasa ini seakan memberontak dalam hati. Mereka ingin bertahan hidup. Otak ku, dan hati ku, memang tak pernah bisa diajak bekerja sama. Mereka selalu bermusuhan. Tanpa mereka sadari mereka membuat ku tersiksa. Mereka bisa membuat gila.

Sesak dihati ku, masih terasa begitu jelas sampai saat ini. Sesak kali ini, aku sangat tak menyukai nya. Sesak kali ini begitu perih terasa. Aku tak pernah membayangkan akan merasakan ini sekali lagi.

Hari ini aku keluar. Memandangi langit diatas ku. Tenggelam dalam pikiran ku. Mungkin... aku memang ditakdiri untuk menjadi orang yang bodoh. Aku ditakdiri untuk selalu seperti ini. Sebesar apapun rasa sayang ku pada diriku, ternyata aku tetap memilih untuk menjadi seorang yang bodoh demi mempertahankan rasa sayang ku.

“Setia dengan bodoh itu gak ada bedanya.” Ujar Ronald waktu itu. Aku terdiam mengingat kembali pembicaraan kami berdua.

“Kenapa harus jadi bodoh untuk dinilai setia?” tanya ku pada diriku sendiri saat ini. Tak ada yang menjawab. Dan tak akan ada yang menjawab.

Aku, memang tidak pantas untuk dirinya. Edgar, bukan untuk diriku. Tapi aku justru bertahan. Ini sudah keputusan ku. Dan ini sama sekali bukan kesalahan Edgar. Ini adalah kemauan diriku sendiri, sampai akhirnya rasa ini menghilang sedikit demi sedikit, jika memang itu yang Edgar mau. Aku tak akan berusaha memperjuangkan cinta ku, karena aku sadar itu hanya akan mengganggu nya. Aku hanya akan diam, di tempat ku, dan menyimpannya sendirian.

Sekali lagi, aku harus berhenti menulis kisah. Sekali lagi, aku harus mengakhiri tanpa ada kebahagiaan. Tapi aku tak menyesal telah menulis kisah ini. Terimakasih untuk Edgar. Berkat dirinya, aku bisa merasakan rasa bahagia. Berkat dirinya, aku bertemu lagi dengan yang namanya cinta. thankyou :)

But sorry, I still love you, even when I hate you.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar