Author : A.R.G.E
Genre : Romance
Rate : General
Cast : Lee Jin Ki (SHINee), Han Hee Ra (OC)
Disclamer : I don’t claim the cast by mine. I just claimed the story and the plot.
~@~@~@~@~
Musim dingin tahun ini, lebih dingin dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Salju yang turun begitu banyak, menutupi permukaan tanah yang ku tapak. Semua tampak putih. Putih dan dingin.
Seperti yang ada di dalam sini, di dalam hati ku. Ku rasa salju juga telah menutupinya, sehingga hati ku menjadi putih dan dingin. Bagai salju yang abadi, tak akan mencair sekali pun aku berjalan ke dalam kehangatan. Aku pun jadi ragu, sekalipun kau kembali...... apakah salju dalam hati ku bisa mencair?
~@~@~@~@~
Alunan musik yang lembut mengalun pelan sepanjang koridor sekolah yang sudah mulai sepi. Matahari sudah mulai memerah, seakan malas-malasan menyinari bumi bagian timur ini. Beberapa murid yang tampak kelelahan melangkah keluar dari gerbang sekolah, saling mengucapkan salam perpisahan dengan teman-teman mereka.
Kecuali untuk seorang gadis, rambut panjang kecoklatannya terurai indah di punggungnya, bergerak pelan setiap langkah gadis itu. Beberapa buku tebal nampak di tangan kirinya, sementara tangan satunya lagi menggenggam sebuah tas besar berwarna hitam. Padahal di punggung nya bertengger tas yang tak kalah besar dengan yang dibawa.
Dengan cepat, ia buka sebuah pintu. Pintu yang memperlihatkan ruangan penuh dengan alat musik. Tampak seorang lelaki sedang duduk di depan piano besar berwarna hitam mengkilat. Jemarinya bergerak lembut diatas tuts-tuts piano, membentuk alunan nada yang sangat lembut.
Lelaki berambut coklat terang itu memejamkan mata, tidak peduli sekalipun sebenarnya ia mendengar seseorang membuka pintu dan sedang berjalan mengarah kearahnya. Lelaki itu justru membuka mulutnya, bersenandung, sama lembutnya dengan permainan piano nya. Suara nya yang berat dan menenangkan itu terdengar ke seluruh ruangan.
Gadis tadi pun menghentikan langkahnya. Biar ia kesal, tapi entah kenapa ia selalu berhenti tiap lelaki itu bernyanyi di depannya. Bagai terhipnotis, lelaki tadi mengambil seluruh kesadaran sang gadis. Akhirnya gadis itu terdiam, menunggu sampai sang pemilik tas hitam tadi berhenti bernyanyi.
Akhirnya lelaki tadi berhenti, membuka mata nya yang sipit. Dan dengan tatapan lembutnya, ia menatap gadis di depan dia itu. Tadi memang gadis itu tampak marah, tapi sekarang emosi nya sudah meluap entah kemana, karena itu ia hanya menatap datar sang pria. Sementara lelaki itu tersenyum menyambutnya.
“Makasih, Hee Ra-ya, sudah membawakan tas ku. Padahal kan berat.” Ujar sang pria. Gadis bernama Hee Ra itu mendekat, mengulurkan tas hitam tadi kepada pemilknya, tanpa bicara apa-apa. “Why?” tanya lelaki tadi.
“Kau curang.” Jawab Hee Ra.
“Curang?” tanya lelaki tadi lagi, tapi kali ini ia tersenyum.
“Kau selalu memanfaatkan kelemahan ku. Padahal tadi aku ingin sekali memarahi mu.”
“Oh? Kau marah kenapa? Aku tidak memanfaatkan kelemahan mu sama sekali kok.”
“Kau tahu aku selalu menyukai suara mu, Onew! Kau selalu bernyanyi di saat-saat aku ingin sekali menghajar mu!” kesal Hee Ra. Sementara pria yang dipanggil Onew itu hanya terus tersenyum. Kenyataannya, memang ia sudah tahu kalau gadis itu tadi marah pada dirinya. Karena itu ia segera bernyanyi, sebelum emosi Hee Ra meledak. Memang mungkin Hee Ra tetap memarahinya, tapi tak akan separah kalau ia tidak bernyanyi.
“Terimakasih sudah menyukai suara ku, Hee Ra-ya.” Jawab Onew sambil berdiri dari duduknya, mengangkat tasnya, lalu mengulurkan tangannya kearah Hee Ra.
“What?” bingung Hee Ra sambil melihati tangan Onew yang terulur kearahnya.
“Kita pulang?” tanya Onew sambil masih tersenyum, suaranya yang dalam dan tatapan yang lembut. Ini juga yang tidak disukai Hee Ra. Pria di depannya itu selalu berhasil membuat debaran jantungnya berdetak sangat cepat, seakan memberontak ingin keluar.
Hee Ra menunduk, menghindari pandangan Onew. Tapi dalam diam ia menyambut tangan Onew, sempat ia dengar lelaki itu terkekeh pelan. Detik berikutnya, tangannya sudah berada dalam genggaman hangat Onew. Mereka pun keluar dari ruang musik. Berdua, menyusuri lorong sekolah yang sudah sangat sepi.
“Kenapa kau suka sekali membolos pelajaran, sih?” tanya Hee Ra, mencoba memecahkan keheningan diantara mereka.
“Karena pelajarannya membosankan.” Jawab Onew ringan.
“Tapi kau sudah kelas 3 sekarang. Tidak hanya itu, tinggal menunggu beberapa bulan lagi juga kau akan ikut ujian. Kalau begitu terus kau bisa tidak lulus.”
“Kenapa bisa?” tanya Onew, yang dianggap aneh oleh Hee Ra.
“Tentu saja! Kau bisa ketinggalan pelajaran.” Hee Ra menatapnya heran.
“Ketinggalan pelajaran bukan berarti aku tidak lulus nantinya, Hee Ra-ya. Sudahlah percaya saja padaku.” senyum Onew meyakinkan.
“Aku heran darimana kau dapat kepercayaan tinggi begitu.” Hee Ra menghela napas panjang.
“Kau tidak percaya padaku?”
“Tidak.” Jawab Hee Ra jujur. Sementara Onew tertawa. Gadis yang sudah ia kenal sejak kecil ini memang selalu jujur.
“Begini saja, bagaimana kalau aku bisa lulus nanti, sekalipun aku tetap sering membolos, huh?”
“Tidak akan, deh. Kau kan tidak sepintar itu juga, Onew-ya.” Ujar Hee Ra, yang membuat Onew semakin tertawa keras. Sebenarnya ini penghinaan, tidak ada yang pernah berani mengatai Onew seperti tadi. Hanya Hee Ra lah yang berani mengatakannya.
“Dasar kau bocah. Berani sekali mengatakan itu padaku. aku ini 2 tahun lebih tua dibandingkan mu, tahu! Mana hormat mu, huh?” Onew mengacak-acak rambut Hee Ra, membuat sang pemilik rambut merasa terganggu.
“Kau ini maunya apa, sih, old man?!” kesal Hee Ra.
“What did you say? Old man?! Hey! You rascal!!” Onew bersiap untuk menangkap Hee Ra dengan serangan maut kelitikannya, tapi Hee Ra sudah lari lebih dulu. Onew mengejarnya, dan Hee Ra terus menghindar. Keduanya saling tertawa, sampai mereka berdua kelelahan sendiri.
“Fine, kalau kau lulus nanti sekalipun kau sering membolos, aku akan mendengarkan apa saja mau mu.” Ujar Hee Ra tiba-tiba.
“Seriously? Kau benar-benar akan mendengarkan semua permintaan ku?” Onew meyakinkan.
“Hn!” jawab yakin Hee Ra.
“Kau akan menuruti apapun mau ku?” tanya Onew sekali lagi.
“...... Eng...” Ragu Hee Ra. Ia menatap Onew, yang menunjukkan wajah sok imut nya. Hee Ra tertawa melihat ekspresi lelaki di depannya. “Alright, alright. Oke, akan kuturuti.” Jawab Hee Ra akhirnya.
“Baiklah, kau lihat saja nanti, aku pasti akan lulus.” Senyum Onew. Pria itu tiba-tiba meraih tangan Hee Ra. Membuat gadis itu kembali berdebar. “Hurry! Kalau berjalan santai begini bisa pulang malam.” Tarik Onew.
Mereka pun berlarian kecil menuju halte bus.
~@~@~@~@~
Hee Ra keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia duduk di kasurnya, dan baru menyadari kalau ia menerima satu pesan. Ia buka, dan langsung melihat sebuah nama terpampang di layar kaca ponselnya.
From : Jin Ki
Hee! ^^ ku tunggu kau di rumah pohon.
Sangat singkat, dan tidak jelas. Untuk beberapa saat Hee Ra hanya menatapi layar ponselnya. Membaca berulang-ulang pesan yang ia terima. Jin Ki adalah nama asli Onew sebenarnya. Hee Ra sudah mengenal Onew sejak kecil, ia tahu lelaki itu memang tidak jelas. Tapi ia sama sekali tidak mengerti apa mau Onew sekarang.
“Kenapa kau menangis?” Hee Ra mendengar suara seseorang dari belakangnya. Ia membalikkan badan dan menemukan seorang anak laki-laki yang memakai topi wol berwarna putih, seperti salju yang turun saat ini.
“Aku tidak menangis.” Jawab Hee Ra, menatap anak laki-laki itu bingung. Siapa dia?
“Oh? Ku pikir kau menangis. Padahal baru saja ku pikir aku bisa berpenampilan keren seperti di drama yang sering ibu tonton.” Jawab anak itu. “Lee Jin Ki.” Senyum anak tadi.
“Eng... Han Hee Ra.” Jawab Hee Ra.
“Kau tinggal di sini?”
“Begitulah. Baru saja beberapa bulan yang lalu aku pindah.”
“Lalu kenapa kau ada disini?”
“Ingin lihat salju.” Hee Ra bersemangat.
“Kau suka salju?”
“Sangat suka! Salju itu putih, melihatnya saja sudah membuat ku tenang. Dingin, menyejukkan.” Senyum Hee Ra sambil memperhatikan salju yang terus turun.
“Oh...... benar juga.” Hee Ra menoleh ke sampingnya, dimana anak bernama Jin Ki tadi ikut duduk bersamanya, yang juga jadi ikutan memperhatikan salju yang turun.
Hee Ra tersenyum sendiri kalau mengingat pertemuan pertama mereka. Saat itu ia masih berumur sekitar 6 tahun, dan Onew berumur 8 tahun. Semenjak hari itu, memang mereka menjadi sahabat. Karena faktor rumah mereka yang ternyata bersebelahan juga, membuat keduanya semakin dekat.
Gadis ini merasa beruntung pamannya mengajak ia pindah waktu itu. Kalau tidak, mungkin ia tidak akan pernah bertemu dengan Onew sampai sekarang. Kecuali kalau memang Tuhan mengharuskan mereka bertemu. Mungkin mereka akan bertemu dengan cara lain.
Selama ini Hee Ra tinggal bersama paman dan bibi nya. Ayah nya berada di Amerika, bekerja disana. Sejak kecil, Hee Ra jarang bertemu dengan ayahnya. Kemungkinan hanya 2 kali dalam setahun. Tapi Hee Ra sama sekali tidak sedih, itu karena ia mendapatkan rasa kasih sayang orang tua yang justru diberikan oleh ibu Onew.
Onew tinggal hanya dengan ibu dan kakek neneknya. Ibu nya bercerita kalau ayah nya sudah tiada sejak Onew kecil, tidak tahu ada dimana dan bagaimana. Onew tidak pernah melihat ayahnya, bahkan tidak dari poto sekali pun. Itu juga yang dirasa oleh Hee Ra, gadis itu sendiri tidak pernah melihat ibu nya. Ayah nya bercerita kalau ibu nya pergi meninggalkan mereka.
Karena itu, Onew dan Hee Ra saling mengerti satu sama lain. Mungkin bagi Hee Ra, tidak ada yang lebih berarti lagi selain Onew. Ya... sebenarnya gadis itu sudah menyimpan perasaan sayang terhadap Onew sejak lama. Hee Ra juga tidak sadar, sampai suatu hari saat Onew menjemputnya untuk berangkat bersama ke sekolah, tiba-tiba saja Hee Ra berdebar saat melihat pria itu.
Hee Ra baru menyadari nya, kalau Onew sudah tumbuh menjadi pria dewasa. Suara nya sudah tidak lagi seringan dulu, rahang yang mengeras, badan nya yang menjadi bidang, tinggi yang mencuat, semuanya... semuanya berubah tanpa Hee Ra sadari. Saat itu lah, gadis itu sadar, kalau ia sangat menyayangi Onew.
Tiba-tiba sebuah dering telepon menyadarkan Hee Ra dari lamunan panjangnya. Ia menatap ponselnya dan memperlihatkan nama Jin Ki disana. Hee Ra segera mengangkatnya, tidak mau membuat lelaki itu menunggu lama.
“Yak! Dingin tau! Kau dimana sih?!” tiba-tiba Onew mengeluarkan sejurus omelnya, tanpa salam pembuka.
“Ah, sorry... aku baru saja selesai mandi, tahu. Ini juga baru mau keluar.” Jawab Hee Ra bohong, sebenarnya ia kelamaan melamun. Tapi tidak mungkin ia jawab kalau gadis itu baru saja memikirkan Onew, kan?
“Yasudah, hurry!! Dingin tahu!”
“Ye, yee...” setelah Onew menutup teleponnya, Hee Ra dengan cepat menyambar jaketnya dan pergi menuju rumah pohon yang dikatakan Onew.
Sampai taman, ia melihat Onew sudah duduk diatas rumah pohon. Sendirian, memang sudah seharusnya sendirian. Rumah pohon itu, adalah rumah pohon yang dibangun oleh mereka berdua. Taman ini sepi, jarang sekali ada orang yang datang. Sekalipun mereka membangun rumah pohon, tak akan ada orang yang berani menganggu mereka.
Bagai peraturan tak tertulis, rumah pohon itu hanya boleh dinaiki oleh Hee Ra dan Onew, hanya mereka berdua saja. Tak ada satu dari mereka yang pernah membawa orang lain ke atas sana. Rumah pohon itu bagaikan singgasana untuk keduanya, yang tak akan pernah diserahkan untuk orang lain.
“Lama?” tanya Hee Ra sambil berusaha naik ke atas.
“Lama sekali!” kesal Onew. Sekalipun begitu, ia tetap mengulurkan tangannya. Membantu Hee Ra.
“Thanks.” Senyum Hee Ra saat gadis itu sudah berhasil sampai diatas, duduk disamping Onew. Sedangkan Onew hanya mendengus. Ia masih merasa kesal.
“Ada apa? Tumben sekali malam-malam begini kau mengajak ku keluar?” tanya Hee Ra, sementara Onew hanya terdiam. Tapi tangannya bergerak keatas, jari telunjuknya menunjuk ke suatu arah. Hee Ra mengikuti arah tunjuk Onew. Ternyata Onew menunjuk kearah bulan. Bulan yang berbentuk bulat sempurna. Bulan purnama.
“Wow...” kagum Hee Ra. Matanya pun tak bisa lepas dari pemandangan menakjubkan di depannya. Dari atas rumah pohon, bulan itu jadi terlihat sedikit lebih dekat dibandingkan dari bawah. Beberapa bintang ikut menemani sang bulan, menyinari malam ini. Satu kata, indah.
“Keren, kan?” senyum Onew. Hee Ra hanya mengangguk sebagai jawaban.
Beda dari Hee Ra, Onew ini sangat menyukai bulan. Menurut pria ini, tidak ada yang lebih mengagumkan dari bulan. Bulan memang tak dapat bercahaya sendiri, tapi bulan sangatlah tegar. Diantara para bintang yang bercahaya, bulan mampu bertahan sendiri, berusaha semampunya untuk ikut menyinari malam hari.
“Kau itu seperti bulan...” gumam Onew tiba-tiba. Hee Ra menoleh menatapnya, ternyata pria itu tengah memperhatikan dirinya. Tatapan lembut dan dalam nya, berhasil membuat Hee Ra membeku di tempat.
“Kau selalu sendirian, tapi berusaha untuk tegar. Terus hidup dan bertahan dengan sekuat tenaga mu. Menunjukkan pada yang lainnya kalau kau juga mampu berdiri. Kau menyembunyikan luka di hati mu, dan terus tersenyum pada dunia.”
Ya, Hee Ra setuju. Gadis itu memang tidak punya yang lain lagi selain Onew. Yang itu artinya, ia selalu sendirian. Ia dan Onew terpisah kalau sudah di sekolah, dan Hee Ra selalu sendirian. Mungkin karena memang ia berbeda dari yang lainnya, terutama dari gadis lainnya di sekolah. Disaat mereka asyik membicarakan hal baru yang sedang panas, Hee Ra lebih suka pergi ke atap, menikmati sejuknya angin yang menerpa nya.
Dimata orang lain, Hee Ra adalah seorang yang pendiam, yang menutup dirinya. Ia hanya tidak ingin hati nya sakit, sama seperti ayahnya yang tersakiti. Lebih baik menghindar, sebelum merasa sakit. Tapi anehnya... ia tidak bisa menghentikan semuanya kalau sudah dengan Onew. Dengan pria itu, justru Hee Ra membuka semuanya.
Tapi Hee Ra tidak terima, baginya, Onew sama saja seperti dirinya. Pria itu juga tertutup dari dunia luar.Pria itu lebih sering menghabiskan waktu di ruang musik, menikmati waktu-waktu dimana ia hanya bersama dengan dirinya sendiri. Dan Hee Ra yakin, sebenarnya pria itu juga menutupi luka hatinya, yang tak pernah mampu Hee Ra lihat.
Pria itu, tidak pernah mau menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Hee Ra. Padahal Hee Ra nya sendiri sudah tahu, kalau Onew terluka. Terluka tiap melihat yang lainnya bisa berbahagia dengan kedua orang tua mereka. Terluka tiap melihat orang lain yang dengan mudah bisa berteman, tapi tidak dengan dirinya. Apa yang beda dari nya? Onew juga sama seperti mereka... tapi mengapa mereka menjauh dari nya? Apa karena keberadaan ayahnya yang tak jelas?
“Dan... kau adalah bulan, yang seharusnya hanya menjadi milikku.” Lanjut Onew, menghentikan Hee Ra yang baru saja mau membuka mulutnya. “Kau seperti bulan, yang menarik perhatian ku sepenuhnya, sekalipun kau berada diantara para bintang yang bersinar. Tapi jangankan melihat, aku tidak peduli sedikitpun pada para bintang. Mereka terlalu banyak, memenuhi galaksi langit, dan aku tidak tertarik. Tapi bulan... hanya ada satu, dan hanya boleh satu.”
“You’re the one in million...... ... Bahkan mungkin, aku lebih tertarik padamu dibandingkan bulan itu sendiri. Disaat ia hanya muncul pada malam hari, kau datang ke dalam kehidupan ku setiap saat. Dan kau bercahaya lebih terang, dimata ku. Bahkan disaat kau disandingkan dengan bulan yang sempurna sekali pun, aku lebih tertarik melihat dirimu...”
“Jangan pernah tinggalkan aku, ya, Hee Ra-ya...” ujar Onew menutupi. Ia mengelus pipi Hee Ra lembut, membuat gadis itu semakin membeku. Ia tak menyangka Onew akan berkata seperti tadi. Tak lama kemudian, kepala Onew terjatuh di pundak Hee Ra, membuat Hee Ra tersentak kaget.
“O-Onew?” bingung Hee Ra. Debaran di jantungnya sangat cepat, ia yakin Onew pasti dapat mendengarnya dalam posisi seperti ini. Tapi saat gadis itu melihat kearah Onew, ternyata ia tertidur.
Hee Ra baru menyadari, mata Onew membengkak. Wajahnya tampak kelelahan. Sekarang Hee Ra mengerti, walau ia tidak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, Onew baru saja melewati hari beratnya. Terakhir kali Onew seperti ini, adalah saat ia tiba-tiba saja memimpikan ayahnya, yang bahkan tak pernah ia lihat. Apa sekarang kejadian itu terulang? Mungkin saja...
Hee Ra pun mengusap-usap kepala Onew lembut. Pria ini mungkin lebih kesepian dibandingkan dirinya. “Tidak akan... aku tidak akan pernah meninggalkan mu, Jin Ki-ya...” bisik Hee Ra pelan.
~@~@~@~@~
“Hari ini aku pulang cepat, ya. Ayah ku pulang!!” bahkan sampai saat ini, Onew masih bisa mengingat wajah ceria Hee Ra. Tadi saat istirahat, gadis itu menghampiri Onew dan dengan bersemangat mengatakan hal itu. Sekarang terpaksa Onew harus pulang sendirian. Dan sebenarnya ini adalah pertama kali nya ia berjalan seorang diri selama perjalanan pulang.
“Jin Ki-ya, ayo bernyanyi untuk ku. sekaliiii saja...” Bujuk gadis itu dengan tatapan kekanak-kanakannya. Onew menghela napas panjang, lalu menatap gadis di depannya itu datar.
“Aku sudah bernyanyi untuk yang ke 10 kali nya, dan kau masih belum puas? Seharusnya aku minta bayaran dari mu, nih.” Jawab Onew.
“Perhitungan sekali. Dasar cowok pelit.” Lewek gadis itu, lalu membuang muka sambil cemberut. Melihat itu Onew hanya bisa tersenyum. Gadis itu sebenarnya bukan tipikal orang yang berisik, tapi kenapa dengan dirinya gadis itu sangat cerewet, sih?
“Alright, alright...” mengalah Onew. “Hee Ra-ya, sudah jangan ngambek. Ini aku nyanyikan satu lagu lagi untuk mu.”
“Really?” gadis yang dipanggil Hee Ra itu langsung menoleh bersemangat.
“Tapi ini yang terakhir. Setelah itu sekalipun kau menangis, aku tidak akan bernyanyi lagi. Get it?”
“Yes, sir!” Senyum senang Hee Ra. Dinyanyikan 11 lagu hari ini dari Onew sebenarnya sudah lebih dari cukup. Onew pun akhirnya memainkan kembali jari-jarinya diatas piano. Ia mulai bernyanyi, dan menarik perhatian Hee Ra sekali lagi. Suara pria itu memang sangat merdu. Siapa pun yang mendengarnya pasti akan berhenti untuk memperhatikan.
Plok plok plok!! Tepuk semangat Hee Ra. Ia senang sekali mendengar suara Onew. Pria itu pun tersenyum melihat reaksi Hee Ra. Ia suka sekali kalau melihat gadis itu tersenyum.
“Ah, salju turun!” Hee Ra bangun dari duduknya, mendekat kearah jendela. Onew pun ikutan berdiri, menghampirinya, dan ikutan mengawasi salju dari jendela, disamping Hee Ra. Lama keduanya saling terdiam, sampai akhirnya Hee Ra menatap diri Onew.
“Kau itu selembut salju.” Ujar Hee Ra, membuat Onew menatapnya bingung. “Bagi ku, kau adalah salju, turun terus tanpa bisa berhenti. Menutupi permukaan bumi, membuatnya tampak cantik dengan warna putih. Menenangkan dan sejuk. Onew (artinya: lembut). Dan aku suka.” Senyum gadis itu. Untuk selama beberapa saat Onew hanya terdiam menatapinya, sementara gadis itu jadi tampak salah tingkah. Itulah pertama kalinya gadis itu menyebut ‘Onew’.
“Eng... keluar yuk! Tiba-tiba aku jadi ingin main salju.” Hee Ra pergi begitu saja, meninggalkan Onew yang masih terdiam. Biar begitu, dalam hatinya sangat senang. Onew memang tidak mengerti apa maksud perkataan yeoja itu, tapi ia sangat senang mendengarnya. Ia pun mengejar Hee Ra yang sudah berada di luar. Tersenyum manis menyambut gadis itu, yang juga tersenyum kearahnya.
Lucu sekali, Hee Ra menganggap diri nya bagai kan salju, dan Onew menganggap Hee Ra bagaikan bulan untuk dirinya. Onew tersenyum sendiri kalau memikirkan ini. Ia tahu, ia tahu semuanya. Dan sebenarnya, ia juga menyimpan perasaan yang sama dengan Hee Ra. Tanpa gadis itu sadari, mungkin perasaan Onew jauh lebih besar dibandingkan dirinya. Dan memang kenyataannya, Onew lah yang lebih dulu mengakui... kalau ia menyayangi gadis itu.
Itu sebabnya, Onew selalu berada di sisi Hee Ra. Ia tidak pernah mau berjalan di depan Hee Ra, atau di belakang Hee Ra, Onew akan berjalan di samping gadis itu. Ia sangat menyukai senyuman Hee Ra, apalagi kalau senyuman itu hanya tertuju padanya. Tapi ia juga tidak melarang Hee Ra menangis dipundaknya, itu membuat Onew merasa dia dipercaya oleh gadis itu.
Onew memang tidak suka melihat gadis itu bersedih, tapi ia tidak pernah menghentikan Hee Ra yang menangis. Pria itu justru menemaninya, sampai Hee Ra puas mengeluarkan semua kesedihan dalam hati nya. Onew selalu berada di sampingnya, memberikan apa yang Hee Ra mau, dan membuang apa yang seharusnya di buang. Untuk Hee Ra, Onew bahkan rela menukarkan hidupnya, asal gadis itu dapat bahagia.
Ia membuka ponselnya, memperhatikan tanggalan yang ada di dalamnya. 2 bulan lagi. 2 bulan lagi Desember, salju akan segera turun. Bulan itu juga, akan di umumkan hasil kelulusan Onew. Pria ini adalah murid tercedas di sekolah. Memang ia sering membolos pelajaran, tapi itu tak masalah untuknya, karena sebenarnya ia sudah mempelajari semuanya.
Disaat murid lain akan baru lulus bulan Januari, tapi untuk Onew khusus. Ia mengikuti ujian sebelum yang lainnya. Itu memang sudah di rencanakan olehnya. Desember, ia harus sudah lulus. Saat salju turun ke permukaan bumi, ia akan memberikan kabar pada Hee Ra, kalau ia sudah lulus.
Dan saat itu lah, Onew akan mengakui semuanya. Onew akan jujur terhadap gadis itu. Ia akan menunjukkan perasaan yang selama ini ia pendam. Hee Ra sangat menyukai salju, dan Onew ingin membuat salju tahun ini terlihat lebih indah dari tahun-tahun sebelumnya. Semua sudah terencana matang.
“Aku pulang.” Onew sampai di rumah nya. sepi. Kemana semua orang? Pikir Onew. Ia mencari kemana ibunya berada, tapi ternyata hanya dia seorang diri dalam rumah. Ia pun masuk ke dalam kamarnya, beristirahat sebentar.
Karena merasa haus, pria itu pun keluar dari kamar, dan ia baru menyadari kalau sudah ada orang lain dirumah.
“Ib-......” Onew menghentikan langkahnya, saat ia melihat ibu nya menangis. Menangis sambil menatap nanar seorang pria dewasa berpakaian rapih di depannya, yang sama sekali tidak dikenal Onew. Siapa orang itu? Onew baru saja mau maju untuk mencari tahu apa yang terjadi, tapi lagi-lagi ia terhenti.
“Aku tak menyangka bisa melihat mu lagi...” ujar ibu nya di tengah isaknya.
“A-aku juga... kupikir, tadi hanya khayalan ku saat melihat mu berdiri di depan pintu rumah adikku sendiri.” Jawab sang pria.
“Jadi, dia adik mu? Ahahaha... lucu sekali... harusnya sewaktu dulu kita masih bersama, kau mengenalkan ku padanya...” tawa ibu Onew kaku. Dan itu berhasil membuat Onew ikutan menjadi kaku.
“Kau tahu kan dia tidak tinggal di Korea dulu... ...” jawab sang pria. “... Bagaimana keadaan mu?” tanya nya.
“Baik, seperti yang kau lihat.” Ibu Onew berusaha tersenyum. “Kau?”
“Begitulah. ....... Bagaimana keadaan Jin Ki?” tanya lagi sang pria. Kali ini, bagai ada yang menimpa, saat mendengar pria itu menyebut nama nya, Onew langsung merasa sakit sekali di dalam hatinya.
“Dia tumbuh menjadi lelaki yang tampan, baik, dan patuh. Kau pasti akan bangga melihatnya.” Senyum sang ibunda.
“Oh? ... aku sudah lama tak melihatnya... saat itu umurnya masih 2 tahun kan... bagaimana sosoknya?”
“...... Ia mengambil semua yang ada pada diriku. Kecuali satu... mata mu mirip sekali dengan matanya.”
“Oh? Ahahaha bagaimana pun dia juga anak ku.” Tawa sang pria. Kaki Onew rasanya sangat lemas, ia bahkan tak mampu berdiri saat ini. Sekarang ia mengerti. Pria dewasa yang berdiri di depan ibu nya, adalah ayahnya sendiri. Ayah kandungnya. Perasaan Onew jadi campur aduk. Ingin sekali ia lari, memeluk ayahnya, tapi dilain sisi ada yang menahan dirinya, seakan tidak mengijinkannya menemui ayahnya sendiri.
“Bagaimana keadaan... dia? Si kecil?” tanya sang ibunda tiba-tiba. “Kau beri nama apa untuknya?” Onew kembali mendengarkan pembicaraan keduanya. Si kecil? Apa itu artinya sebenarnya ia punya seorang adik? Apakah adiknya sudah diambil oleh ayahnya, bahkan sebelum ibu nya memberikan bayi itu nama?
“Dia... sekarang sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Dia memang mengambil semua yang ada di diriku. Tapi... sifat dan sikap kalian sangat mirip. Saat bersamanya, aku seperti bersama kembali dengan mu.” Cerita pria yang sebenarnya adalah ayah Onew itu.
“Really? Siapa namanya?”
“Han Hee Ra. ...... kau suka?”
Bagai ada yang menusuk dari belakang, Onew bahkan sekarang tak bisa bernapas. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Apa kah benar yang telah barusan ia dengar??
“He-Hee Ra? Maksud mu... Hee Ra... yang selama ini tinggal dengan adik mu? ...... ah... iya... dia memang tinggal bersama paman dan bibi nya. ja-jadi maksud mu... dia... anakku??” tanya sang ibund. aSaat itu juga Onew berusaha bangkit dari duduknya. Ia dengan segera melangkah menuju kamarnya. Ia sama sekali tidak ingin dengar apa yang akan di jawab pria itu.
Sayangnya ia masih sempat mendengar apa yang menjadi jawaban pria tadi, yaitu “Iya... dia anak kita... Hee Ra adalah adik Jin Ki.”
Sampai kamar, Onew langsung ambruk. Ia masih tidak percaya apa yang terjadi barusan. Ini bagai bermimpi buruk. Mimpi yang sangat buruk. Ia menjambak rambutnya sendiri, berusaha bangun dari tidurnya. Tapi seperti apapun ia mencoba, ini tetaplah kenyataan.
Ia dan Hee Ra, ternyata adalah kakak beradik.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRRGHHHHHHHH!!!!” Onew bangun dan menghancurkan semua yang ada dalam kamarnya. Frustasi. Ia sangat benci. Benci dengan apa yang ia alami. Ia benci takdir yang diberikan Tuhan padanya. Ia bahkan... membenci Tuhan.
Rasa sakit dalam hatinya tak dapat hilang, sekalipun Onew berkali-kali meninju dadanya sendiri. Luka yang sejak dulu sudah ada, walau sempat berhasil tertutup, tapi sekarang terbuka sekali lagi. Bahkan terbuka lebih lebar dari sebelumnya.
“Jin Ki?! Ada apa?!” ibunya tiba dalam kamar Onew, bersama pria tadi, ayah nya Onew sendiri. Keduanya menatap Onew panik dan khawatir.
“........ Go away...” usir Onew, tanpa menatap keduanya.
“A-apa?” kaget sang ibunda, karena baru kali ini melihat anaknya seperti itu. Selama ini Onew adalah anak yang berbakti pada orang tua.
“GO AWAY!! I SAID GO AWAY!!!” Onew membalikkan badannya, menatap nanar kedua orangtuanya. Onew menangis, entah sejak kapan air mata itu mengalir di pipinya.
“Ji-Jin Ki sebenarnya apa yang terjadi??” biar begitu ibu nya tetap bertahan di tempat.
“Thankyou...” senyum Onew tiba-tiba, sambil masih terus menangis. “Thankyou... karena kalian, aku tak pernah mengenal ayah ku sendiri. Karena kalian, aku tak pernah bertemu dengan adikku sendiri. Oh salah...... aku sudah bertemu dengan adikku. Bahkan adikku selalu berada di sampingku. Selalu membahagiakan aku. DAN BAHKAN ADIKKU TELAH MEMBUAT KU MENCINTAI NYA!! SEBAGAI SEORANG PEREMPUAN!! SEMUA TERIMAKASIH PADA KALIAN BERDUA!!” Onew kembali berteriak seperti orang yang sudah kehilangan akal.
“A... aku mencintai nya... aku sangat mencintai nya... dan kenapa kalian menghancurkan semua nya? kenapa harus Hee Ra? Kenapa harus Hee Ra yang menjadi adikku? Kenapa harus gadis yang ku cintai?... kenapa...” Onew kembali ambruk, memeluk dirinya sendiri. Menangis. Menangis, mengeluarkan rasa sakit dalam hatinya. Ia sendiri tahu itu tak akan pernah terobati sekalipun ia sudah menangis.
~@~@~@~@~
Hee Ra berdiri diantara para salju yang turun dari langit, mencoba menutupi permukaan bumi yang ia injak. Pandangannya menatap lurus ke arah udara kosong di depannya. Seharusnya ia tidak berada di tempat ini. Seharusnya ia tidak menemui pria itu lagi. Setelah 2 bulan ini, Hee Ra mengurung dirinya sendirian. Benar-benar mengurung dirinya.
Ia bahkan sempat jatuh sakit parah. Ia hanya tidak kuat. Tidak kuat menerima takdir yang ia terima. Kenapa Tuhan begitu jahat pada nya? tidak... Tuhan jahat kepada mereka berdua. Kenapa harus jadi seperti ini?
Hee Ra mendengar suara langkah dari belakang. Ia menoleh, dan melihat pria itu berdiri di belakang nya. rambut coklat terang nya, mata sipit nya, wajah tenang nya... tidak ada yang berubah dari dirinya. Pria itu tampak seperti dulu, seperti biasanya, seperti yang selalu Hee Ra cintai.
Harusnya mereka berdua tidak bertemu lagi. Harusnya Hee Ra tidak menemui nya, sekalipun pria itu memohon untuk dapat bertemu dengan dirinya. Harusnya mereka tidak bertemu, selagi mereka masih memiliki perasaan yang sama.
“I love you...” bisik pria itu pelan.
“...... Me... too...” jawab Hee Ra. Keduanya saling tatap. Lama keduanya terdiam. Bicara menggunakan hati mereka masing-masing. Ingin sekali keduanya menghentikan waktu saat ini. Mereka tidak ingin saat-saat seperti ini berakhir. Tapi... itu tidak mungkin.
“Istirahatlah. Kau jangan mengurung diri seperti ini. Lihat dirimu, jadi sakit begini kan...” Onew mengelus pelan pipi Hee Ra. Gadis itu menangkap tangan Onew, dan menggenggamnya, mencari kehangatan dalam genggaman Onew.
“I miss you...” ujar pelan Hee Ra. Air mata mengalir di pipinya. Seperti biasanya, Onew tidak berbuat apa-apa, tidak menyeka air mata nya, atau pun menyuruhnya berhenti menangis. Tapi pria itu langsung bergerak memeluk Hee Ra. Pelukannya sangat erat. Seperti tidak pernah mau melepaskannya.
"So do I...” jawab Onew. Ini adalah pertama kalinya mereka bertemu semenjak mereka mengetahui kenyataan yang ada. Kenyataan kalau mereka adalah kakak beradik. Mereka sudah tahu semuanya sekarang. Orang tua mereka, bercerai tepat setelah Hee Ra dilahirkan. Bukan, mereka bercerai bukan karena bertengkar. Tapi karena sebenarnya, mereka tidak bisa bersama. Hubungan mereka tidak pernah direstui siapa pun. Mereka harus lari kesana dan kesini. Sama sekali tidak bahagia.
Karena alasan itulah, saat ini Onew dan Hee Ra tidak bisa menyalahkan siapa pun. Sejak awal, ini semua sudah salah. Yang mereka bisa lakukan sekarang hanyalah saling memeluk. Saling memberikan kehangatan.
“Lama?” Onew akhirnya mengeluarkan suaranya, memecahkan keheningan diantara mereka. Hee Ra hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Keduanya pun kembali terdiam. Saling menatap satu sama lain. Tiba-tiba Onew menarik Hee Ra kedalam pelukannya. Ternyata pria itu sudah tidak bisa menahan rasa rindu nya lagi. Ia memeluk gadis itu erat.
“O-Onew-ah...” gumam Hee Ra pelan dalam pelukan Onew. Gadis itu tidak ingin seperti ini, tapi ia tak bisa membohongi dirinya sendiri, kalau ia juga sangat merindukan Onew.
“Biarkan begini untuk beberapa saat. .......... setelah ini aku janji, aku tidak akan begini lagi. Biarkan ini untuk yang terakhir... karena setelah hari ini... semua selesai...” ujar Onew. Hee Ra pun membalas pelukan Onew. Tak terasa air mata kembali mengalir dari matanya. Sakit. Rasanya sakit sekali.
Ia sudah sangat mencintai lelaki ini. Sangat. Sampai tak ada kata yang mampu menggambarkan bagaimana besar nya rasa sayang Hee Ra terhadap Onew. Begitupun juga Onew, diam-diam air mata mengalir di pipinya. Keduanya saling berpelukan di tengah-tengah salju yang turun.
“Masih ingat, kalau aku lulus, kau akan menuruti apa saja yang ku mau?” tanya Onew. Hee Ra hanya mengangguk sebagai jawaban. “... Aku lulus, Hee Ra-ya...” lanjut Onew. Hee Ra langsung mendengak, menatap Onew tidak percaya. Tapi setelah itu ia tersenyum
“Congratulations.” Senyum Hee Ra. Untuk selama beberapa saat Onew menatap lekat gadis dalam pelukannya ini. Hee Ra yang sadar, hanya bisa tersenyum. “Jadi kau mau apa?” tanya Hee Ra.
Bukannya menjawab, Onew kembali memeluk Hee Ra. Kali ini lebih erat dari sebelumnya.
“Aku mau... Kau melupakan aku... pergilah dari ku... jangan lihat kearah ku lagi... berbahagialah dengan pria lain. Aku yakin... kau akan mendapatkan pria yang lebih baik, ah tidak, tapi jauh lebih baik dibandingkan diriku. Aku yakin, kau bisa berbahagia, tapi tidak dengan ku. Aku tak akan mampu membuat mu bahagia. Karena itu, ...... lupakan aku, dan pergilah...”
Onew melepaskan pelukannya, akhirnya. Biarpun ia sendiri rasanya tidak ingin melakukan itu. Sebenarnya ia ingin terus memeluk gadis di depannya, yang tengah menatap Onew tidak percaya. Onew sendiri tidak percaya, ternyata ia mampu mengatakannya.
Tapi mampu tidak mampu, ia harus mengatakannya. “... Lucu sekali saat aku mengatakan padamu untuk pergi, pada kenyataannya, aku lah yang akan pergi dari Korea. Besok... aku akan berangkat menuju Australia. Aku akan meneruskan sekolah ku disana.” Lanjut Onew, lagi-lagi membuat Hee Ra menatapnya tidak percaya.
“Jadi... jagalah dirimu baik-baik, ... my little sis...” senyum Onew, memaksakan. “Good bye.” Onew pun membalikkan badannya, dan pergi meninggalkan Hee Ra sendirian. Satu langkah yang ia ambil, adalah tanda kalau ia meninggalkan hatinya disana.
Sementara Hee Ra, masih terdiam, memandangi punggung Onew yang semakin menjauh darinya. Ia menangis. Menangis kejar. Baru kali ini, ia benci pada salju. Salju tahun ini, terasa lebih dingin dari biasanya. Salju tahun ini, terasa begitu menyakitkan. Membekukan hatinya.
Akhir tahun, akhir dari kisah mereka juga...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar