Author : ARGE
Genre : Romance
Rate : General
Cast : Nam Woo Hyun
(Infinite), Kim Hye Gi (OC)
Support cast : Kim Key
Bum (SHINee)
Disclaimer : the
characters were claimed by their self, I just claim the story and the plot.
~@~@~@~@~
*Hye Gi pov*
Aku tidak mempercayai
cinta. apalagi semenjak namja itu pergi, meninggalkan aku. Bagiku, tidak ada
‘kebersamaan’. Pada akhirnya semua manusia hanya akan memikirkan diri mereka
masing-masing.
Aku memandangi bayangan
diriku sendiri. Rambut blonde sepunggung ku kubiarkan terurai begitu saja.
Angin sepoi-sepoi menggoyangkan nya sedikit. Tidak lama kemudian aku
tersadarkan, aku sudah terlalu lama melamunkan bayangan diriku sendiri. Dan
saat itu juga, aku baru menyadari tepat di depanku sebenarnya terpampang model
wedding dress. Putih, cantik, glamour.
Pada akhirnya, aku
kembali melamun. Apa nantinya aku akan menikah? Percaya cinta saja tidak.
Mungkin... aku tidak akan pernah menggunakan dress cantik seperti di depan ku
ini. Lagipula, memangnya siapa yang mau berdiri menjadi pendampingku? Hahaha..
Aku pun beranjak pergi
dari tempat aku berdiri. Tapi baru berapa langkah, aku menangkap sesosok namja
yang sudah sangat ku kenal. Namja itu tersenyum lembut kearah ku, matanya tajam
menyorot ku, wajah terlihat lebih terang dengan bantuan lampu jalanan yang ikut
membantu menerangi malam ini. ia pun mendekat kearah ku yang terhenti.
“Beruntung sekali
berpas-pasan dengan mu.” Senyumnya. Sementara aku hanya menatapnya datar. “Hey,
Hye Gi-ya, senanglah sedikit. Kau bertemu dengan ku, juga.” Lanjutnya.
“Kenapa aku harus
senang?” tanyaku, masih menatapnya datar.
“Karena kau melihat
namja tampan menghampirimu.” Cengirnya pede. Aku hanya memutar bola mataku.
“Mau kuantar pulang?” tawarnya. Sementara aku justru melewatinya begitu saja.
“Tidak perlu.” Jawabku
sambil menjauh darinya. Jujur saja aku tidak sedang dalam mood untuk bersama
orang lain. Sekalipun dia adalah Nam Woo Hyun, namja yang sudah ku kenal sejak
lama.
“Tapi aku memaksa.”
Tanpa seijinku, dia langsung menggenggam tangan ku, dan menarik ku kearah motor
besar nya yang berwarna hitam.
Ia mengambil helm, dan
memakai kan nya padaku. ia mengambil helm lagi, dan memakai kan untuknya
sendiri. Ia tersenyum kearah ku. Tatapannya menyuruh ku untuk segera naik ke
atas motor. Tapi aku tetap terdiam, tidak bergerak sedikit pun.
“Naik atau ku gendong?”
tanya nya. Dan karena itu, terpaksa akhirnya aku nurut naik keatas motornya.
Cukup sulit, bahkan aku hampir saja terjatuh. Motornya terlalu tinggi untukku.
Untung saja Woo Hyun oppa langsung menahan tubuh ku, kalau tidak aku pasti
sudah jatuh.
“Hahahaha, dasar
pendek.” Ia mencubit hidung ku dari celah helm. Sementara aku memelototinya. Ia
pun tersenyum dan naik keatas motornya, menyalakan mesinnya, lalu berangkat.
Tidak lama kemudian, kami sampai di depan apartemen ku. Ya... aku tinggal di
apartement. Dan sebenarnya, Woo Hyun oppa tinggal di sebelah kamar ku.
Setelah ia memarkirkan
motornya, kami pun masuk ke dalam. Setelah tiba di lantai 7, kami pun keluar
dari lift. Saat aku baru saja mau membuka pintu apartement ku, aku baru
menyadari kalau Woo Hyun oppa belum pergi. Aku pun menatapnya bingung.
“Mwo?” tanyaku padanya.
“Aigoo, dingin sekali.
Aku kan mau bertemu dengan oppa mu. Kenapa? Kau pikir aku mengikutimu terus?
Atau kau memang mau aku melakukan itu?” tanyanya sambil tersenyum. Aku tidak
menjawab apa-apa, langsung membuka pintu dan masuk ke dalam. Dapat ku dengar ia
terkekeh dari belakang.
Sampai dalam, ku temukan
sesosok namja lainnya, yang sedang meneguk air minum. Dari wajahnya kelihatan
sekali ia kelelahan dan kepanasan.
“Kau baru pulang Hye
Gi-ya? Tidak lihat sekarang sudah jam berapa? Hampir pukul 8 malam, dan kau
baru pulang? Kemana saja kau?” tanya namja itu beruntun saat aku melewatinya.
“Sudahlah, Ki Bum oppa,
aku bukan anak kecil lagi.” Jawabku, mengambil minum yang baru saja ia teguk.
Sekarang gantian aku yang meminumnya.
“Hey, Key.” Masuk Woo
Hyun oppa, membuat Ki Bum oppa kaget.
“Woo Hyun-ah? .......
Kau mengantar Hye Gi pulang? Atau hanya kebetulan bertemu?atau kalian berdua
habis......” Ki Bum oppa menatap kami curiga.
“Kami bertemu di jalan.”
Jawab ku, lalu masuk begitu saja ke dalam kamar. Tidak peduli apa yang mau
mereka lakukan setelah itu.
Ku rubuhkan tubuh lelah
ku diatas kasur yang empuk. Rasanya nyaman sekali. Saat membalikkan badan,
tatapan ku menangkap beberapa foto yang menempel di tembok-tembok kamar ku.
Foto-foto yang harusnya sudah ku buang saja.
Beberapa diantaranya,
adalah foto keluarga ku. Foto yang sangat ku benci sebenarnya. Tapi anehnya,
aku tidak pernah bisa menurunkan foto-foto itu, apalagi dibuang. Sejak kecil
orang tua kami pergi begitu saja, mengurus perusahaan mereka di Amerika.
Meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil hidup sendirian di Korea.
Sebenarnya, appa kandung
ku sudah lama tiada. Eomma cerita, ia kecelakaan saat aku masih kecil. Aku
belum pernah bertemu dengannya. Yang ku kenal selama ini hanyalah “pria”
pengganti appa. Yang jujur saja, aku sangat membenci nya. Bagiku, dialah yang
sudah merampas semuanya dariku. Memang dia pengganti appa, tapi aku sama sekali
tidak merasakan kasih sayang appa, bahkan orang tua, dengan adanya dirinya.
Saat aku berumur 8
tahun, appa mengirim salah satu anak buah kepercayaannya untuk mengurus aku dan
Ki Bum oppa. Lalu setelah itu ia tidak pernah kembali lagi ke Korea, sekali pun.
Tapi setelah Ki Bum oppa beranjak dewasa, anak buah itu ditarik lagi oleh appa.
Seakan memang sengaja ia membiarkan kami hidup sendirian.
Sekarang Ki Bum oppa
bekerja disalah satu restoran terkenal di Korea. Ki Bum oppa memang pandai
memasak. Ia selalu bisa memasakan masakan yang ku mau. Apa saja.
Lalu foto-foto lainnya
adalah foto diriku sendiri bersama dengan ‘dia’. Dia, namja yang sebenarnya
telah berbaik hati mengajari ku apa itu yang namanya cinta. Namja yang memenuhi
hari-hari ku selama setahun ini. Dia adalah yang pertama... dan biar aku
mengaku tidak lagi mempercayai cinta, tapi jauh dalam hati ku... aku masih
menyayangi nya.
Karena itu... aku tidak
sanggup untuk membuang foto-foto kami, yang menyimpan banyak kenangan saat
bersama. Aku menyedihkan, kan?
Tak terasa air mata
mengalir di pipi ku. Aku sudah tidak kuat menahannya. Seberapa kuat aku
berusaha tegar, ternyata tetap saja aku menangis. Di dalam sini rasanya sangat
sakit. Dalam hati ku. Bayangan dirinya, yang mengatakan akan pergi meninggalkan
ku masih dengan jelas terlihat dalam memori otak ku.
Baru seminggu yang
lalu... ya... baru minggu lalu. Baru minggu lalu ia mengakhiri semuanya.
Mengakhiri apa yang sudah terjalin selama setahun. Waktu setahun, hancur semua
hanya dengan satu kalimatnya.
Aku tak dapat membohongi
diriku sendiri, kalau aku masih mencintainya.
~@~@~@~@~
Aku membuka mataku
perlahan, ternyata sudah pagi. Dan aku baru menyadari kalau aku masih
menggunakan seragam ku. Aku segera bangun dari tidurku, melangkah ke dalam
kamar mandi. Setelah mandi, aku kembali berseragam dengan seragam yang berbeda.
Keluar dari kamar, dapat ku cium aroma lezat dari ruang makan. Aku pun
tersenyum.
“Mornin’, oppa.” Sapa ku
pada Ki Bum oppa, seperti yang kutebak, ia sedang buat sarapan untuk kami. Ki
Bum oppa menoleh kearahku. Untuk selama beberapa saat ia hanya menatap ku, baru
setelah itu ia tersenyum lembut.
“Mornin’ my lil sis. A
yummy breakfast, made for you.” Ia mematikan kompor, mengambil piring,
mengangkat masakannya dan menaruh tepat di hadapan ku. Aku pun tersenyum
kearahnya.
“Gracias~”
“Doutashimashite.” Jawab
Ki Bum oppa. Kami berdua memang senang bicara dalam banyak bahasa, tentu saja
dalam bahasa yang kami tahu. Aku tidak sepintar itu juga, yang tahu semua
bahasa.
“Asal kau jadi merasa
lebih baik, tak masalah.” Lanjut Ki Bum oppa. Saat itu aku terhenti, dan
menatapnya heran. “Dongsaeng ku tampak lebih manis kalau tersenyum, bukan
menangis.”
Aku langsung memerah.
Jadi... Ki Bum oppa tahu aku menangis kemarin? Siaaalll... malu sekaliii! Ki
Bum oppa adalah orang terakhir yang boleh mengetahui kalau aku ini sedang
sedih. Dia sudah bekerja keras untuk menghidupkan kami berdua, dia selalu
memikirkan diriku lebih dulu dibandingkan dirinya.
Aku tidak mau dia
memikirkan masalah ku, dan semakin membuatnya banyak pikiran. Karena itu sebisa
mungkin aku tampak ceria di depannya. Bahkan Ki Bum oppa tidak tahu kalau aku
baru saja patah hati. Aku tidak tahu deh, apa yang akan ia lakukan pada namja
itu kalau dia sampai tahu.
Selesai makan, aku pun
bersiap untuk berangkat sekolah. Begitu juga dengan Ki Bum oppa yang sedang
bersiap untuk bekerja. Kalau dipikir-pikir, jarak umur ku dengan Ki Bum oppa
lumayan jauh. Kami beda 4 tahun. Saat ini aku kelas 3 SMA, sedangkan Ki Bum
oppa sudah bekerja. Memang ia tidak melanjutkan kuliah. Tapi untuk apa kuliah
kalau sudah dapat kerjaan enak?
Aku ingin seperti oppa
ku deh, dapat kerjaan enak. Berkarir. Aku sudah memutuskan seumur hidup ku,
akan menjadi wanita berkarir. Jadi tak perlu repot-repot memikirkan masalah
cinta.
“Maaf, sanjangnim.
Sepertinya aku tidak bisa. Aku tidak bisa meninggalkan adikku begitu saja.” Aku
mendengar suara Ki Bum oppa sedang berbicara. Aku melongokkan kepala, dan
melihat ternyata Ki Bum oppa sedang menerima telepon. “Maaf, sanjangnim...”
Aku menghampirinya, “Ada
apa oppa?” tanyaku, dan berhasil membuatnya kaget.
“Eh? Ani. Sudah siap
berangkat? Kajja!” ia pun mengambil kunci mobil, tapi aku menahannya dan
menatapnya tajam.
“Ada apa?” tanya ku
sekali lagi. Ia menatap ku selama beberapa saat, baru setelah itu ia menghela
napas panjang.
“Hari ini ada tamu
special di restoran. Aku ditawari untuk menjadi koki mereka. Tapi itu artinya
aku akan pulang larut malam. Aku tidak mungkin menerimanya.” Cerita Ki Bum oppa
akhirnya.
“Wae? Bukankah itu
kesempatan emas? Kau bisa dapat bonus oppa!” aku menatap Ki Bum oppa heran,
kenapa bisa dia jadi bodoh begini?
“Tapi itu artinya kau
akan sendirian. Aku tidak mungkin meninggalkan mu send-...”
“Ppaboya.” Aku
menatapnya tidak percaya. Dia terdiam, kaget mendengar apa yang baru saja ku
katakan padanya. “Neo ppaboya, oppa. Sudah berapa kali ku katakan padamu, aku
bukan anak kecil lagi, tahu! Aku sudah 17 tahun! Aku sudah bisa mengurusi
diriku sendiri. Lagipula kan hanya satu malam sendirian, itu bukan masalah
untukku. Terima saja tawaran itu oppa. Percaya padaku, aku akan baik-baik
saja.” Ujar ku panjang lebar. Aku pun tersenyum kepadanya, meyakinkannya.
“... Baiklah...” jawab
Ki Bum oppa akhirnya. Ia pun balas tersenyum kearah ku. “Asal kau janji
langsung menelpon ku kalau ada apa-apa, ara?” ia mengelus kepala ku lembut.
“Arasseo.”
~@~@~@~@~
Aku membuka gorden dan
menatap keluar. Hujan turun deras malam ini. Ditemani oleh suara berisik dari
arah tv yang sengaja ku setel volume full, tapi suara hujan tetap saja
terdengar lebih kencang. Jujur saja, ini pertama kalinya aku sendirian dalam
apartement. Selama ini Ki Bum oppa selalu menemani ku. Biar dia sibuk, tapi ia
tak pernah meninggalkan diriku sendirian.
Sebenarnya... aku sangat
takut saat ini. Tapi aku tak mau membuat Ki Bum oppa cemas. Toh aku sendiri
yang mengatakan aku bukan lagi anak kecil. Aku pun masuk ke dalam kamar,
menyalakan laptop ku. Mencoba membuang waktu.
Tiba-tiba saja, JLEB. Aku langsung membeku, tak dapat
bergerak. Aku tak dapat melihat apa-apa. Semua berubah menjadi gelap. Palingan
hanya sedikit cahaya dari layar laptop. Mati... lampu?? JELEGARR!! Kali ini aku langsung loncat dari tempat ku. Spontan
tubuh ku bergerak kearah pojokan ruangan. Memeluk tubuh ku sendiri yang
gemetar. Aku... aku takut pada petir. Aku selalu menyimpan rasa takut pada
petir.
Hujan dan petir,
mengingatkan aku pada kejadian-kejadian dulu. Dimana aku selalu sendirian,
tanpa ada orang tua. Disaat teman-teman ku memeluk ibu mereka, aku hanya
berjongkok di bawah bangku, memeluk tubuhku sendiri. Saat aku sendirian
dirumah, kejadian itu pun terulang, tak akan ada yang menenangkan ku. Sampai
saat ini, aku jadi selalu membenci petir.
Kalau ada Ki Bum oppa,
ia akan menenangkan ku. Tapi Ki Bum oppa sendiri sering sibuk, seperti hari ini.
Dan aku tidak mungkin menelponnya, hanya karena aku takut pada petir.
JELEGAAARRR!! Sekali lagi petir menyambar. Aku semakin memeluk
tubuhku erat. Takut... aku sangat takut...
Sampai tiba-tiba, BRAK!!
“HYE GI-YA?! EODIYA?!”
ku dengar seseorang membuka pintu depan, dan berteriak memanggilku. Rasanya aku
dapat mengenal suara itu. Tapi saat ini otakku tak dapat berpikir. Aku hanya
bisa terdiam sambil masih terus memeluk tubuhku. “HYE GIII!! JAWAB AKU!!”
“HYE GI!!” ku dengar
kali ini orang itu membuka pintu kamar ku. “HYE GI?! HY-Hye Gi? Hye Gi-ah!!”
tak lama kemudian aku merasakan seseorang memeluk ku. Ia memelukku erat, sambil
mengusap-usap punggung ku, menenangkan ku. Ia mendekap ku masuk ke dalam
dadanya, memberikan ku kehangatan.
“Sssttt... uljima. Ada
aku disini. Ada aku... sstt... sudahlah, uljima.” Ia terus mengusap-usap
punggungku. Aku, yang diriku sendiri tidak sadar sejak kapan aku menangis,
hanya bisa terdiam. Aroma tubuhnya membuat ku tenang. Dalam dekapan hangatnya,
aku pun jadi terlelap.
*Woo Hyun pov*
“Pokoknya ku titipkan
Hye Gi padamu, Woo Hyun-ah.” Ujar Key dari sebrang telepon, setelah
‘pidato’-nya yang panjang lebar. Telinga ku sampai panas mendengar penjelasan,
suruhan-suruhan, dan segala macam darinya.
“Percayakan saja
padaku.” Jawabku, sudah lelah menanggapi nya sejak tadi. Tak lama kemudian Key
akhirnya menutup telepon. Key atau nama aslinya Ki Bum adalah sahabat ku. Kami
sudah satu sekolah sejak SMA, semenjak aku pindah ke Seoul. Aku tinggal sendiri
disini, begitu juga dengan Key. Bedanya, namja itu memiliki seorang dongsaeng
bersamanya.
Beda dengan Key yang
sudah dapat kerjaan, aku justru melanjutkan kuliah. Biar begitu, aku masih suka
menghabiskan waktu bersama Key. Lagipula, aku juga ingin melihat nya. melihat
yeoja itu. Yeoja yang selalu ceria, apapun yang terjadi. Yeoja yang kadang
menyebalkan, sama liciknya dengan oppanya sendiri, kadang merepotkan diriku,
tapi... aku tak pernah bisa menyingkirkannya dari pikiran ku.
Kim Hye Gi... ya...
sebenarnya aku menyukai nya. Dan mungkin Key akan langsung menonjokku kalau ia
sampai tahu hal ini. Tidak ada yang tahu, dan kurasa sekalipun itu Hye Gi
sendiri, kalau sebenarnya aku selalu memperhatikan yeoja itu. Sejak awal, yeoja
itu memang sudah menyita perhatian ku. Sampai saat ini, ia terus menghipnotis
ku, untuk terus melihat kearahnya.
Biar kelihatannya aku
hanya bercanda, tapi sebenarnya aku serius menyukainya. Aku tahu, ia sudah
bersama namja lain. Mereka bahkan sudah satu tahun berpacaran. Tapi tetap saja,
aku tidak bisa melupakannya. Satu tahun waktu yang lama kan? Tapi kenapa aku
tidak bisa melupakannya? Dan justru semakin menyayanginya?
Aku adalah contoh namja
bodoh hahaha...
Tiba-tiba, semua menjadi
gelap. Aku tersentak kaget. He? Mati lampu?? Aigooo, sedang enak main PS juga.
Dasar tidak bisa lihat orang sedang santai sedikit! JELEGAARRR!! Aku tersentak kaget untuk yang kedua kalinya. Oh iya,
diluar sedang hujan. Wah... malam ini seram sekali. Sudah mati lampu, petir
menyambar lagi.
... Petir? ... oh God!
Hye Gi kan takut petir!!
Tanpa menunggu lama, aku
langsung bangun dari duduk ku. Secepat mungkin aku berlari ke sebelah, ke kamar
apartement Hye Gi. Tak perlu mengetuk lagi, aku langsung membuka pintu depan.
Gelap. Sama seperti dalam kamar ku.
“HYE GI-YA?! EODIYA?!”
Aku berteriak memanggil nya. aku diam, mencoba mendengar suara nya. tapi nihil.
Yang dapat ku dengar hanya suara hujan dan petir yang masih menyambar-nyambar.
“HYE GIII!! JAWAB AKU!!” aku pun berteriak sekali lagi. Masih tidak ada
jawaban. Aku pun segera masuk ke dalam, mencoba melihat sosok nya dalam
kegelapan. Karena cahaya petir, setidaknya aku masih dapat melihat.
Ku temukan pintu
kamarnya, dan dengan segera ku buka. “HYE GI!!” teriak ku sekali lagi. “HYE
GI?! HY-Hye Gi?” Disaat itu lah, aku melihat sosoknya. Ia berada di pojok
ruangan kamarnya, memeluk tubuhnya sendiri.
“Hye Gi-ah!!” aku
langsung menghampirinya, dan memeluknya. Dapat kurasakan tubuhnya gemetaran
hebat. Aku juga sempat melihat ia menangis. Ia pasti sangat ketakutan. “Sssttt...
uljima. Ada aku disini. Ada aku... sstt... sudahlah, uljima.” Bisik ku sambil
mengusap-usap punggungnya, mencoba membuatnya tenang. Ia tak bicara apa-apa.
Terus terdiam. Sampai akhirnya kurasakan ia menyender di dalam dekapan ku. Ku
lirik kearah wajahnya, dibantu cahaya dari petir yang masih menyambar-nyambar.
Hye Gi tertidur.
Aku pun tersenyum. Lebih
baik ia tertidur, daripada aku harus melihatnya menangis ketakutan seperti
tadi. Ku perhatikan lekat wajah nya. wajahnya memang mirip dengan Ki Bum, yah
walau Hye Gi tidak memiliki pipi tirus seperti Key. Pipi nya chubby, bibir nya
mungil. Kalau ia membuka matanya, ia akan memperlihatkan tatapan tajamnya, yang
seakan bisa menyorot sampai ke dalam tubuh kita.
Aku menyukai segala yang
ada pada dirinya, segalanya. Mungkin... aku sudah terlalu mencintainya?
Ku elus rambut blonde
nya yang terasa begitu lembut di tangan ku. Hye Gi... kau selalu ceria di
hadapan orang lain, tapi aku selalu memperhatikan mu... aku tahu kau
menyembunyikan sesuatu. Menyembunyikan luka mu. Seandainya kau mempercayai ku,
aku akan melakukan apapun untuk dapat menolong mu. Seandainya... kau mau
terbuka pada diriku...
Saat aku mendengak, saat
itu juga aku melihat beberapa foto yang terpampang di dinding kamar Hye Gi.
Foto dirinya bersama dengan namja itu pun ada di sana. Aku pun tersadarkan.
Tidak akan pernah Woo Hyun, ia tidak akan mengatakan apa-apa padamu sampai
kapan pun, karena ia sudah memiliki namja itu. Jelas ia akan pergi ke namja
itu, bukan dirimu. Ahaha apa yang kau harapkan, huh?
Aku memperat dekapan ku.
Kembali memperhatikan dirinya yang terlelap tidur di dada ku.
“Kalau dari dulu aku
sudah jujur padamu, sebelum namja itu... apa kau akan menerima ku? ...... atau,
... akankah kau mengijinkan ku, merebut dirimu darinya?”
~@~@~@~@~
*Hye Gi pov*
Aku membuka mataku, hm?
Sudah pagi? Aku bangun dari tidur ku. Keluar dari kamar ku, dan melihat Ki Bum
oppa sudah berada di ruang makan, seperti biasanya, memasakan sarapan untuk
kami berdua. Ia menoleh dan tersenyum menyambutku.
“Ohayou, dongsaeng-ya.”
Sambutnya. Tapi seakan baru mengingat sesuatu, ia langsung mendekat kearah ku,
dengan tatapan khawatir. “Neo gwenchana? Tidak mimpi buruk kan? Aahh, mianhaeee.”
Ki Bum oppa langsung memelukku.
“Kau sebenarnya kenapa
sih, oppa?” tanya ku bingung. Ki Bum oppa melepaskan pelukannya, dan menatapku
dengan penuh rasa bersalah.
“Harus nya semalam aku
ada di sampingmu. Maafkan oppa. Maafkan oppa tidak ada di sisi mu saat kau
membutuhkan oppa.” Ujarnya.
“Oh... gwenchana, oppa.
Daripada itu, bukankah lebih baik kau istirahat? Kau pulang laru-...”
“...... Nappeun
dongsaeng!” tapi tiba-tiba saja ia menjitak ku. aku langsung meringis
kesakitan. Sebenarnya ada apa sih dengan oppa ku yang satu ini?! Sikap anehnya
tetap saja tidak hilang-hilang. Bisa-bisanya tadi ia memelukku, merasa
bersalah, meminta maaf dan segalanya, sekarang ia menatap ku tajam, memarahi
ku, bahkan menjitakku?!
“Sudah ku bilangkan!
Kalau ada apa-apa langsung telepon aku! Nappeun!!” omelnya. “Cepat makan sini!
Setelah itu mandi, pallii!! Nanti kau telat berangkat ke sekolah!!” ini dia, Ki
Bum oppa dalam mode eomma. Biar kelihatannya tenang, tapi sebenarnya dia itu jauh
lebih cerewet daripada ibu-ibu sebenarnya. Jinjja. “Malah bengong, palli!!”
“Ye, oppa!” dan kalau
sudah seperti ini, aku hanya bisa menurutinya. Bisa digoreng aku kalau
membatahnya.
“Oh, ya, nanti jangan
lupa ucapkan terimakasih pada Woo Hyun.” Ujar Ki Bum oppa saat kami sedang
makan.
“Woo Hyun oppa? Kenapa
aku harus berterimakasih padanya?” bingungku.
“Kau tidak ingat?
Semalam dia yang menemani mu. Saat aku pulang, ku lihat ia menunggui mu yang
sudah tertidur. Dia bilang, kau ditemukan sedang menangis di pojok ruangan.”
Cerita Ki Bum oppa.
Aku pun terhenti saat
itu juga. Semalam? Oh... aku baru ingat. Semalam memang tiba-tiba ada yang
datang. Jadi... yang semalam itu... Woo Hyun oppa? “Sebenarnya aku jadi kagum
padanya.” Lanjut Ki Bum oppa, membuatku terlonjak kaget.
“....... ... Maksud
oppa? -_-?” bingungku.
“Kau tidak tahu? Woo
Hyun itu mengidap Claustrophobia. Dia
takut ruangan sempit dan kecil. Kamar mu kan kecil, aku sendiri juga heran
kenapa kau memilih kamar yang kecil. Apalagi dalam keadaan gelap, mati lampu
kan semalam? Dia hebat... melupakan phobia nya hanya untuk menemani mu.
Pokoknya kau harus berterimakasih padanya.” Jelas Ki Bum oppa.
Aku kembali terdiam.
Dia... punya phobia? Dan... melupakan phobia nya hanya demi menemani ku
semalam? Aku tidak menyangka... ternyata dia begitu baik. Selama ini memang ia
senang sekali mengganggu ku. aku juga kadang tak mau kalah, akan balas
mengganggunya. Tapi hanya sebatas itu. Woo Hyun oppa memang dekat dengan Ki Bum
oppa, tapi tidak dengan ku.
“Nanti setelah kau
mandi, kau mampir dulu ke tempatnya. Antarkan masakan ini padanya. Aku sengaja
membuatkan makanan kesukaan nya, tanda terimakasih. Sekarang kau makan lah.”
Ujar Ki Bum oppa lagi, sambil menunjuk kearah sebuah mangkuk besar.
“Ne, arasseo.” Jawabku,
dan kembali melanjuti makan ku.
Seperti yang di suruh Ki
Bum oppa, aku pun mengantarkan masakan Ki Bum oppa untuk Woo Hyun oppa. Untuk
selama beberapa saat aku menunggu sampai akhirnya Woo Hyun oppa membuka pintu
nya. sesaat ku lihat ia tersentak kaget, setelah itu ia bengong menatap ku.
“Annyeong.” Sapa ku
ramah.
“E-eh? Ah iya, annyeong.
Ada apa, Hye Gi-ya? Tumben pagi-pagi begini?” ia menatap ku heran.
“Ini.” aku mengulurkan
mangkuk tadi kearahnya. Ia menerimanya dengan wajah yang masih kebingungan.
“Dari Ki Bum oppa, sebagai tanda terimakasih.”
“Oh...” akhirnya ia
mengerti. “Gomawo.” Senyumnya.
“Aku juga ingin
mengucapkan terimakasih. Gomawo, sudah mau menemani ku semalam. Entah apa yang
akan terjadi kalau tidak ada kau semalam.” Ujar ku sambil tersenyum. Sementara
ia justru menatap ku dalam diam.
“Oh, ya. Ini.” kali ini
aku mengulurkan sebuah tiket kearahnya. Ia menerima tiket itu dengan wajah yang
semakin bingung. Jujur saja, aku ingin tertawa saat ini. dia lucu sekali. “Itu
tiket nonton.” Jelasku. Tapi beda dari yang tadi, ia justru menatap ku tidak
percaya.
“Teman ku memberikan ku
2 tiket. Tadinya aku ingin mengajak Ki Bum oppa agar pergi bersama ku. tapi
kurasa Ki Bum oppa tidak akan mau, ia kan harus kerja. Jadi bagaimana kalau kau
saja? Sebagai tanda terimakasih ku juga. Eh... tapi kau harus kuliah ya?”
“Gwenchana!” jawabnya
tiba-tiba, membuatku kaget. “Eh, eng... gwenchana. Aku bisa, kok.” Jawabnya
kali ini dengan nada biasa.
“Jinjja? Kau tidak
kuliah?” tanyaku.
“Kebetulan hari ini aku
libur.” Senyumnya.
“Oh? Syukurlah... kalau
begitu ku tunggu kau disana. Jangan sampai telat ya. Atau kau akan ku tinggal! Hahaha
annyeong~” aku pun berpamitan padanya, dan kembali ke dalam kamar apartement
ku.
Sebenarnya tiket tadi
diberikan sahabatku, Cheon Sa, untukku dan ‘namja itu’. Seandainya dia tidak
pergi, mungkin nanti dengan diri nya lah aku akan pergi. Aaah! Sudahlah Hye Gi!
Jangan ingat dia lagi! Jangan memikirkan namja yang tega meninggalkan mu demi
dirinya sendiri!
~@~@~@~@~
“Haaa seru sekali ya
film nya!” senang ku saat kami keluar dari studio. “Aku tidak menyangka
akhirnya akan jadi begitu. Jadi mau nonton sekali lagi.” Lanjut ku.
“Ahaha biasanya nonton
untuk yang kedua kalinya jadi tidak seseru yang pertama.” Jawab Woo Hyun oppa
yang berjalan di sampingku. Kami baru saja selesai menonton film, seperti yang
dijanjikan tadi.
“Ah, tunggu disini
dulu.” Woo Hyun oppa menyuruh ku duduk disalah satu bangku, sementara dia pergi
begitu saja. Ku perhatikan dia, mau kemana memangnya? Ooh, ternyata ia mau
membeli minum. Dasar, kenapa menyuruh ku menunggu disini?
Tapi aku jadi tersenyum
sambil memperhatikannya dari jauh. Aneh, padahal kami sudah kenal sejak lama,
tapi kenapa baru sekarang aku jadi tertarik memperhatikannya? Kalau
dipikir-pikir, banyak yang tidak ku ketahui tentang dirinya. Bahkan aku baru
tahu kalau dia punya phobia hari ini.
Yang ku tahu sejauh ini,
hanyalah dia namja yang menyebalkan. Sering sekali mengganggu ku. tapi dia
teman yang setia. Ki Bum oppa sering menceritakan dirinya pada ku, apalagi
kalau mereka berdua habis melakukan sesuatu yang seru. Kalau ku dengar dari
cerita Ki Bum oppa, Woo Hyun oppa orang yang asyik dan ramah. Kadang aku suka
iri melihat mereka berdua. Aaahh, aku jadi merindukan Cheon Sa hahaha.
Woo Hyun oppa sempat
menoleh kearah ku sebentar, dan aku menangkap tatapannya. Dia tersenyum
sekilas, lalu kembali lagi pada pelayan yang melayani nya. Aku baru menyadari
nya, Woo Hyun oppa tampak berbeda saat ia tersenyum. Manis. Tatapannya tajam,
tegas, tapi tetap memiliki kelembutan. Tubuhnya yang profosional. Rambut hitam
lurusnya yang tertata rapih juga bergaya.
Berbeda dari Ki Bum oppa
yang meninggalkan kesan cantik (??), Woo Hyun oppa adalah namja yang tampan.
Heran, kenapa sampai saat ini ia tidak punya pacar, ya? Padahal harusnya banyak
yeoja yang menyukai nya, apalagi kalau ditambah dengan kepribadian Woo Hyun
oppa. Harusnya dia sudah punya pacar. Tidak mungkin kan... dia... dan Ki Bum
oppa...... ah anni, anni! Jangan berpikiran yang tidak-tidak Hye Gi! Oppa mu bukan
orang seperti itu!
“Waegurae?” aku
tersentak kaget saat menyadari kalau Woo Hyun oppa sudah tiba di hadapan ku.
“Ah? Ah ...
ahahahaha...” aku hanya bisa tertawa kaku. Kalau Ki Bum oppa tahu apa yang
sekarang sedang ku pikirkan, yakin ia akan langsung menyerang ku dengan segala
jurus omelnya.
“Dasar aneh.” Ia ikutan
tertawa. “Ini, moccachino.” Woo Hyun oppa mengulurkan segelas moccachino dingin
kearahku. Aku menerima nya sambil menatap Woo Hyun oppa takjub.
“Wow, kau tahu saja
selera ku.” ujarku.
“Tentu saja aku tahu.”
Jawabnya tersenyum. Sementara aku jadi memperhatikannya bingung. Apa aku begitu
mudah ditebak? Apa di wajah ku ada tulisan besar mengatakan aku suka
moccachino? “Sudah mau malam. Pulang, yuk. Sebelum Key memarahi ku karena
membawa pergi adiknya sampai malam.”
“No, aku lah yang
membawamu pergi.” Aku membenarkan.
“Hem, benar juga. Tapi,
aku tidak punya kakak macam Key. Jadi tidak akan ada yang memarahi mu,
sekalipun kau membawa ku pergi sampai besok pagi. Sedangkan kau punya. Apapun
alasan nya nanti, kalau kita pulang malam, tetap saja aku yang kena damprat,
sekalipun aku disini adalah korban.” Keluhnya. Membuatku tertawa.
“Kata-kata mu memberi ku
ide bagus, bagaimana kalau Ki Bum oppa untuk mu saja? Aku sama sekali tidak
keberatan. Kau tidak punya kan? Sedangkan aku punya, dan aku sudah cukup bosan
mempunyai nya.” candaku.
“Oh, lebih baik kau
bunuh saja aku.” Woo Hyun oppa menggeleng-geleng cepat. “Atau bunuh saja Key nya
sekalian.” Lanjutnya.
“Aku suka ide terakhir.”
Tawa ku, di ikuti olehnya. Oke, malam ini kita sepakat akan membunuh Ki Bum
oppa. Lalu setelah itu aku akan bunuh diri, karena aku tidak bisa hidup tanpa
Ki Bum oppa. Jadi sama saja kami menyepakati hari mati ku...
“Kajja.” Ajaknya lagi.
“Ara.” Aku pun bangun
dari duduk ku. dan baru saja aku mengambil beberapa langkah, tiba-tiba
seseorang menarik tangan ku dari belakang. Tanpa sempat aku melihat siapa orang
itu, dia langsung memeluk ku.
“Akhirnya, aku menemukan
mu juga.” Ujarnya, tepat di telinga ku. suara ini... suara yang sudah tidak
asing lagi. Tidak, suara ini bahkan sudah sangat ku kenal. Bagaimana mungkin
aku tidak mengenali suara yang selalu ku dengar tiap hari nya, selama setahun
ini?
“Lee Sung Yeol?” tanya
ku meyakinkan. Ia pun melepaskan pelukannya, saat itu lah mata ku bertemu
dengan mata nya. tatapan lembut yang selalu ku sukai. Ia tersenyum.
“Hye Gi-ya...
bogoshipo...”
To be continue
Tidak ada komentar:
Posting Komentar