Senin, 30 Januari 2012

Look at You 1

Fujigaya Taisuke
Author : Highness Gi
Genre : romance
Rate : general
Cast : Fujigaya Taisuke (Kiss-my-ft2), Fujiwara Ragau.
Support cast : Yuta Tamamori (Kiss-my-ft2), Hikari Yaotome (HSJ)
Summary : I don’t expect, I’ll thinking ‘bout her, more and more…

~@~@~@~@~

Angin sejuk menggoyang-goyangkan rambut coklat ku pelan. Ku pejamkan mataku, menikmati suasana tenang yang sudah sangat jarang kurasakan. Sepi. Sunyi. Tenang dan tentram. Aaah… aku suka sekali keadaan seperti ini. Aku sangat merindukan saat-saat aku sedang sendirian, dan menikmati cerahnya hari di bawah pohon rindang yang menghalangi ku dari sinar matahari. Sayang kali ini aku hanya bisa menikmatinya di atap gedung sekarang.

Sebelum akhirnya aku menjadi seorang idola, aku selalu menghabiskan waktu ku dengan bersantai. Duduk di taman dekat sekolah, di bawah pohon, sambil mendengarkan lagu ballad yang melantun lembut. Kalau aku sudah seperti itu, aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam, sampai akhirnya aku tersadarkan kalau hari sudah gelap.

Sekarang jangankan bersantai begitu, untuk jalan-jalan di kota saja kadang tidak sempat. Aku memang baru 3 tahun menjalani hari-hari ku menjadi seorang idola. Bisa dibilang, saat ini nama ku sedang naik-naiknya. Bukannya aku mau sombong, tapi menjadi idola terkenal memang target ku.

3 tahun yang lalu, aku mengirimkan lagu ciptaan ku sendiri ke salah satu management ternama di Jepang. Tak kusangka-sangka, aku berhasil merebut hati directur management tersebut. Ia sangat menyukai lagu ciptaan ku itu. Dipanggilah aku, dan begini lah sekarang aku. Menjadi artis naungan direktur itu.

“Oh? Taisuke-kun, ternyata kau disini.” Aku menoleh dan melihat Tama sedang jalan menghampiri ku. “Apa yang kau lakukan di atas atap begini? Sendirian lagi.” Tanyanya sambil duduk bersender di samping ku.
“Tidak ada. Hanya sedang menikmati angin segar.” Jawabku sambil memejamkan mataku.
“Jangan sampai ketiduran, sebentar lagi kita perform.” Ujar Tama mengusik ku.
Hai” jawabku. Untuk beberapa lama, hanya ada suasana hening diantara kami berdua. Sampai akhirnya Tama memulai pembicaraan kembali.

“… Kalau sedang seperti ini… jadi ingat dia, ya?” tanya Tama lagi. Kali ini aku tidak menjawab. Aku hanya terus terdiam sambil mendengarkan Tama tertawa-tawa kecil di sampingku.

“Kira-kira dia sedang apa ya sekarang? Apa dia masih ingat pada kita, ya? ah tidak… wajar aja sih kalau dia lupa padaku… tapi dengan mu… hey, apa kau tidak merindukannya?” tanya Tama berisik sekali. Tapi aku tetap tidak menjawab, dan kali ini aku mendengar Tama menghela napasnya.

“Bunga sakura di sana jadi membuatku semakin ingat akan dirinya. Sebentar lagi musim semi akan berakhir, ya… …” Lanjut Tama sambil melamun. Aku membuka mataku sedikit, dan ternyata benar kata Tama, jauh di bawah kami, ada pohon sakura besar yang tumbuh berseri. Aku baru menyadarinya…

Bunga sakura ya…… itu memang mengingatkan ku padanya. Saat itu… beberapa kelopak bunga sakura jatuh ke tangan mungil nya…

Tiba-tiba saja berbagai macam kenangan melintas dipikiran ku… aku tak dapat menahannya, semua bagai terulang begitu saja di hadapan ku…


-flashback-

Dengan langkah lunglai, aku berjalan menuju taman dekat sekolah ku. Hari ini melelahkan sekali, tiba-tiba saja ada ulangan matematika. Sudah dipastikan nilai ku tidak akan melebihi angka 5. Yasudahlah, aku tidak peduli.

Ku rubuhkan tubuhku, dan menyender di pohon rindang yang tumbuh di taman. Aku menatap keatas ku, bunga sakura mulai bermekaran. Bisa dibilang aku benci bunga ini. Alasannya konyol sih, hanya karena tiap musim semi, bunga sakura bisa ku lihat hampir dimana pun di pelosok Jepang. Bosan. Apalagi kalau sudah berguguran, di depan rumah ku banyak sekali bunga sakura, dan aku pasti akan disuruh paksa oka-san untuk menyapunya. Merepotkan.

Ku ambil iPod ku, ku pasang kan headset ke telinga ku, mencari posisi enak dengan tas ku menjadi alas kepala, lalu… memejamkan mata. Tapi sebelum seluruh mataku tertutup dan penglihatan ku menggelap, aku melihat sesosok gadis duduk tidak jauh di depan ku.

Tak jadi meram, aku justru memerhatikan nya. Gadis itu duduk di bangku taman. Ia sendirian. Tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk dan memandang lurus ke depan. Bisa ku lihat tangannya di balut. Dan di bagian kepalanya diperban. Di dekatnya juga ada dua tongkat penyanggah untuk membantu nya berjalan. Apa dia pasien rumah sakit?

Memang di depan ku itu adalah rumah sakit. Bisa dibilang, taman ini menjadi pemisah antara sekolah ku dan rumah sakit itu. Dari pakaiannya sih, dia memakai piyama rumah sakit. Apa yang dia lakukan di situ sendirian? Ah… palingan juga hanya ingin melihati bunga sakura yang bermekaran. Dasar cewek.

Aku pun memejam kan mataku, sambil ikut bersenandung mengikuti nada dari lagu yang ku dengar.

~@~@~@~@~

Suara gebukan drum terdengar nyaring di ruangan studio milik sekolah ku ini. Aku menikmati permainan Hikaru, sambil menunggu waktu dimana aku akan memainkan gitar ku. Tiba-tiba pintu terbuka, dan muncul lah Tama dengan tampang memelasnya, seakan ia bersalah.

Gomenasai.” Ujarnya tiba-tiba. Benar kan, dia bahkan meminta maaf. Tapi untuk apa? “Hari ini kelas ku berencana menjenguk teman sekelas kami.” Lanjutnya, seakan bisa mendengar pikiran ku.
“Menjenguk teman mu? Sekelas?? Sugoii… kalian kompak sekali, teman sakit sampai sekelas begitu yang jenguk.” Kagum Hikaru, sudah tidak lagi memainkan drum nya.
“Padahal kita juga baru berapa bulan jadi anak kelas 3 kan? Kau baru berapa bulan sekelas kan? Hebat..” aku ikutan kagum.
“Begitulah. Kalau hanya sakit biasa, sih, palingan hanya beberapa yang pergi. Tapi ini bukan sakit biasa. Teman ku ini habis kecelakaan kemarin. Ia sampai masuk rumah sakit. Sudah dari 4 hari yang lalu sebenarnya, tapi kami semua baru tahu. Jadi baru hari ini mau menjenguk.” Cerita Tama.

“Tak apa kan, aku pass dulu hari ini?” tanya Tama meminta ijin.
“Hey, kita ini kan hanya band sekolah biasa, bahkan tidak resmi. Kita hanya main-main saja. Jadi santai saja, lah. Jangan terlalu kaku begitu.” Ujarku.
“Iya benar. Kita kan hanya pinjam ruangan ini dari anak band yang sesungguhnya. Sebenarnya mau jadi band beneran sih…” lamun Hikaru.
“Kita kan masih pemula, jangan mimpi terlalu jauh dulu, Hikaru.” Tama mengingatkan. “Kalau begitu aku pergi dulu, ya. gomen.” Tama pun akhirnya pergi.

“Kecelakaan, ya? kayanya aku sempat dengar teman ku membicarakan itu. Ku dengar, anak gadis. Kasihan sekali, ya dia. Kuharap dia tak apa-apa. Sudah kelas 3 soalnya. Kasihan, kan? Dia bisa ketinggalan banyak pelajaran kalau luka parah…” ujar Hikaru sambil memukul-mukul pelan drum nya.
“… Sebenarnya aku juga berpikir kalau kita bisa jadi band beneran.” Ujarku tidak nyambung, tapi sukses membuat Hikaru melongo. Tak lama kemudian raut wajahnya jadi sangat cerah.
“Benar, kan! Tama saja tuh yang tak percaya kemampuannya sendiri! Kita ini bukan pemula, kita sudah lama bermain alat musik begini, harusnya bisa jadi band!” semangat Hikaru. Sedangkan aku hanya tersenyum melihatnya membara-bara begitu. Sebenarnya aku punya pikiran yang sama dengan Hikaru…

Tapi yah…  kami hanya main-main saja. Sampai kapan pun kurasa tidak akan pernah bisa serius menjadi band yang sesungguhnya. Lagipula nanti jadi harus lebih sering latihan. Itu merepotkan. Menyita waktu ku yang ingin bersantai-santai.

Sepulang latihan bersama Hikaru, aku menjalani ritual ku biasanya. Bersantai di taman dekat sekolah. Kali ini, sebelum aku menyiapkan posisi enak, aku sudah melihat gadis kemarin lagi-lagi duduk disana. Kali ini rambut pirangnya dikuncir satu. Aku jadi bisa melihat wajahnya lebih jelas dari yang kemarin.

Memang aku hanya bisa melihatnya dari samping, tapi aku dapat melihat senyuman merekah di bibirnya. Apa yang membuatnya tersenyum? Apakah dia memang sedang senang? Apa yang membuatnya senang sampai senyum-senyum sendiri begitu? Sesuatu yang baik telah terjadi padanya?

Kenapa aku jadi repot-repot memikirkannya? Biarlah…

Tapi kalau diperhatikan lebih jelas lagi… sepertinya aku pernah melihatnya. Doko?

~@~@~@~@~

Kali ini, sebelum aku duduk di tanah, aku sudah melihat gadis itu. Entah kenapa, kepala ku reflek menoleh ke tempat duduk yang biasa gadis itu duduki. Lagi-lagi dia duduk sendirian disana. Rambutnya dikuncir satu lagi. Dan kuakui, aku lebih suka melihatnya dikuncir begitu. Aku jadi bisa melihat wajahnya lebih jelas, dibandingkan saat rambutnya terurai.

e… tapi kenapa? Kenapa aku mau melihatnya lebih jelas??

Aku duduk, dan kembali memerhatikannya dari tempat ku. Kira-kira dia melihat ku tidak, ya? apa dia sadar sejak kemarin aku melihati nya? Apa dia tahu sejak kemarin aku duduk di sini? Apa dia, setidaknya sekilas, melihat diri ku di sini?

Ku lihat di tangannya terdapat buku yang terbuka. Entah itu buku apa. Yang kutahu buku itu cukup tebal, dan aku tidak akan pernah mau coba untuk membaca nya. Biar buku itu terbuka, tatapan gadis itu tetap lurus ke depan. Kenapa tidak dibaca? Ku lihat tangan nya meraba lembut permukaan kertas buku itu. Sebenarnya dia kenapa? Kenapa bukunya dibiarkan terbuka begitu, sedangkan dia sendiri menatap kedepan? Dan kenapa hanya diraba?

Aku terlonjak kaget, saat samar-samar ku lihat ada air mata mengalir di pipi putihnya. Di-dia menangis? Tapi kenapa?? Perlahan tapi pasti, ia membuka ikatan di rambutnya. Rambut pirangnya pun terurai kebawah. Dia menunduk, sehingga aku tak dapat melihat wajahnya lagi, yang tersembunyi dibalik rambutnya.

Tapi aku dapat melihat bahu nya berguncang. Ia pun menutup bukunya, dan melemparnya kedepan. Baru tak lama kemudian, dari tempat ku duduk, aku bisa mendengar suara tangisnya. Tak diragukan lagi, dia menangis.

Sebenarnya apa yang terjadi dengannya? Bukankah kemarin ia senang? Kenapa hari ini justru menangis? Aku ingin menghampirinya. Tapi… apa tak apa? Aku tidak kenal dia, dia juga tidak kenal aku. Aneh bukan kalau tiba-tiba orang asing seperti ku, menghampiri untuk menghiburnya?

Aku pun mengurungkan niatku. Mungkin mengawasi nya sampai ia berhenti menangis adalah tindakan yang lebih tepat untukku saat ini.

~@~@~@~@~

Aku tidak menyangka kalau aku sampai memikirkan gadis itu terus-terusan. Aku ingin tahu apa yang ia tangisi kemarin. Melihatnya, aku merasa dia menanggung beban yang sangat besar. Aku merasa dia menahan sakit di hatinya. Dan entah darimana, muncul perasaan kalau aku ingin ia berbagi kepedihannya itu padaku.

Ku pandangi taman dari jendela kelas ku. Dari sini ternyata aku bisa melihat bangku yang selalu ia duduki. Kosong. Tak ada dia disana. Aneh… ada rasa aneh di hati ku melihat tidak ada dia duduk di bangku tersebut.

Jam istirahat pun berbunyi. Aku segera bangkit dari dudukku. Ingin segera ke kantin dan makan. Kuharap itu bisa menghilangkan perasaan aneh yang muncul dalam hati ku ini. aku masuk ke kelas Tama yang hanya berada di sebelah kelas ku.

Ku lihat dia sedang menyender dekat jendela bersama Hikaru.

“Kelas mu bukannya jauh? Kenapa bisa kau ada disini, Hikaru?” tanyaku saat aku ikut berkumpul dengan keduanya.
“Kelas ku kosong tadi, kelas Tama juga, jadi aku pergi ke sini.” Jelas Hikaru.
“Kantin?” tawar ku.
“Tidak. Aku sedang tidak bawa uang.” Jawab Hikaru melas.
“Aku sudah makan. Tuh.” Tama menunjuk ke kotak bekal yang ada di atas mejanya.
“He? Kau bawa bekal?” bingungku.
“Mulai dari kemarin, oba-san tinggal di rumah ku. Tidak seperti oka-san, dia rajin sekali masak, sampai-sampai dia membuatkan ku bekal.” Cerita Tama.
Hontoni? Bagaimana kalau oba-san mu membuatkan ku bekal juga?” tanya Hikaru semangat.
“Suruh saja oba-san mu sendiri.” Jawab Tama cuek.

“Kau bodoh sekali sih!” tiba-tiba terdengar seseorang mengomel keras. Kami bertiga jadi menoleh, dan melihat seorang gadis berdiri sambil menatap tajam gadis lainnya yang duduk di bangku. “Kenapa kau memberi nya buku?!” lanjut gadis yang berdiri itu.
“Ha-habisnya… dia kan memang sudah lama mengincar buku itu. Kau ingat kan, hari dimana ia kecelakaan, hari itu di sekolah dia semangat sekali mengingat buku yang ia tunggu-tunggu selama berbulan-bulan akhirnya keluar juga.” Jelas gadis yang duduk.
“Tapi kau tahu kan kalau dia……” sekarang gadis yang berdiri memelankan suaranya, sepertinya dia sadar kalau semua orang jadi memerhatikannya.
“Aku tahu! Tapi… sebelum kita datang menjenguknya aku tidak tahu kalau ternyata dia…” gadis yang duduk itu tidak melanjutkan kata-katanya lagi.
“Dan kau masih memberikannya?” tanya gadis yang pertama, dan gadis kedua mengangguk sebagai jawaban. “Kau bisa membuatnya sedih…”

“Taisuke, apa sih yang kau lihati?” tanya Hikaru menyadarkan ku.
“Eh? Ah… iie.” Jawabku.
“Mereka memang berisik.” Ujar Tama tiba-tiba.
“Yang mereka bicarakan, teman mu yang kemarin kalian jenguk, ya?” tanya Hikaru lagi, kali ini pada Tama.
“Ya. kalian sendiri dengar kan tadi. Fujiwara Ragau. Itu namanya.”
“Bagaimana keadaannya? Keadaan Fujiwara-san?” tanya ku kali ini.
“Tidak terlalu parah. Tapi…” jawab Tama menggantung.
“Tapi?” bingung aku dan Hikaru berbarengan.
“Ku rasa dia tidak akan melanjutkan sekolah lagi.” Jawab Tama.
“He? Kenapa?” kaget ku.
“Karena dia tidak bisa. Sudahlah… jangan bicarakan ini.” ujar Tama yang sepertinya risih dengan pembicaraan kami. Mungkin Tama kasihan pada kondisi temannya itu, sehingga ia berpikir membicarakan nya begini bukan hal yang tepat.

Sepulang sekolah, aku berhenti di pertengahan jalan menuju pohon yang biasanya kujadikan tempat peristirahatan ku. Mata ku menatap lurus ke arah bangku taman, yang biasanya ada seseorang yang menduduki nya. Ada perasaan lega muncul entah darimana, saat aku melihat dia duduk di bangku tersebut. Gadis itu ada. Gadis itu duduk disana.

Rambut pirangnya yang terurai mengayun pelan terkena angin. Lagi-lagi tatapannya menatap lurus ke depan. Kali ini ekspresinya datar. Entah datang darimana pikiran ku, tiba-tiba saja aku ingin menghampirinya.

Kaki ku pun berjalan dengan sendirinya kearah nya. Seakan tidak bisa diatur oleh otakku, kaki ku terus jalan mendekat. Semakin dekat, semakin dapat ku lihat wajah nya dengan jelas. Sebelum aku sampai di samping gadis itu, tiba-tiba saja salah satu tangan nya mengangkat. Aku terhenti.

Tangan nya mengangkat kearah ku. Biar begitu, tatapannya tetap memandang kedepan. Dia tidak menoleh sedikit pun kearah ku. Aku sendiri hanya bisa melihat wajahnya dari samping.

Nee~ yang ada di tangan ku saat ini, itu bunga apa?” tanya gadis itu tiba-tiba. Dan ini pertama kalinya aku mendengar suara nya. Awalnya aku tidak bisa menjawab, jangankan menjawab, berpikir saja tidak bisa. “Kau masih di sana?” tanya nya sekali lagi.
“Eh!? Ah... … hai.” Jawabku akhirnya.
“Ini… bunga apa?” tanya nya lagi. Aku pun bergerak mendekat, agar aku bisa melihat apa yang ia pegang. Saat sudah benar-benar berada di sampingnya, ku lihat ada beberapa kelopak bunga sakura di atas tangan mungilnya.
“Sakura. Bunga sakura.” Jawabku.
“Ah? Iya ya… harusnya aku sudah tahu kalau ini bunga sakura. Sudah mulai musim semi, sih, ya… “ tawanya pelan. “Sudah berapa banyak bunga yang bermekaran disini?” tanya nya lagi. Aku menatapnya bingung.

Apa maksudnya bertanya begitu? Bukankah dia sendiri bisa lihat? Kenapa dia bertanya padaku, seakan sekarang ia tidak sedang berada di sini?

Eto… …” aku bingung harus menjawab apa.
Gomenasai. Pertanyaan ku membingungkan mu, ya?” dapat ku lihat ia tersenyum lirih. “Tapi aku bertanya begitu karena aku tidak bisa melihatnya.” Lanjutnya sambil masih tersenyum.
“He? Kau… …”
Hai. Aku tidak bisa melihat. Aku buta.” Senyumnya. Dan saat itu lah, sesuatu seakan telah memukul tepat di hati ku. Aku tidak tahu kenapa, tapi menyadari kalau dia tidak bisa melihat, rasa nya perih di hati ku.

Jadi dia tidak bisa melihat ku? Jadi dia tidak menyadari kehadiran ku sejak kemarin? Jangankan untuk menatap ku… melihat sekilas saja, ia tidak? Aku membeku sesaat. Menyadari itu semua membuatku jadi tidak bisa berpikir apa-apa. Tapi kalau diam begini… aku bisa menyakiti hatinya…

“Sudah lumayan banyak. Bunga sakura nya tumbuh dengan indah di sini. Yang ada ditangan mu itu, hanya beberapa kelopak kecil dari bunga sakura yang jatuh. Kurasa karena terbawa angin.” Ujarku akhirnya. Aku pun mengambil duduk di sampingnya.

Aku menoleh kearah nya, dan kali ini aku dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas. Wajahnya pucat. Di jidatnya masih ada perban yang menempel. Matanya yang hitam menatap lurus kedepan. Bibir mungil nya sedikit tebal, dan membentuk senyuman.

Soudesuka?” tanya nya meyakinkan, sambil terus tersenyum.
Hai.” jawabku ikut tersenyum. Walaupun aku tahu, dia tidak akan bisa melihat nya.
“Padahal waktu ku lihat, belum ada yang mekar.” Ujarnya. Aku terdiam mendengarnya. Waktu dia lihat? Maksudnya?

“Seminggu yang lalu, saat aku masih bisa melihat semuanya, belum ada bunga sakura yang bermekaran. Curang sekali. Saat semua yang ku lihat hanyalah kegelapan, bunga-bunga itu justru muncul.” Lanjutnya. Ucapannya lagi-lagi membuat ku sakit. Kenapa dia bisa berkata begitu enteng sambil masih terus tersenyum?

Nee… kau tidak bertanya apa-apa?” tanyanya.
“He? Tanya? Memangnya kau ingin aku bertanya apa?” bingungku.
“Bukankah biasanya orang akan banyak tanya? Kenapa bisa sekarang aku buta? Apa yang terjadi? Bagaimana perasaan ku setelah tak bisa melihat lagi? Sekarang aku mau bagaimana? Iya kan?” aku lagi-lagi terdiam mendengar itu. Sedikit demi sedikit, aku mulai mengerti. Aku mulai mengerti kenapa dia selalu sendirian. Dan aku mulai mengerti, rasa sakit yang ia keluarkan kemarin.

Ia hanya tidak ingin diganggu… dia pun masih belum bisa beradaptasi dengan apa yang terjadi padanya. Dia... dia hanya tidak ingin dibedakan dengan yang lainnya…

“Tak semua orang seperti itu.” Jawabku.
“Oh ya?” ia tertawa pelan. Dan kami terdiam. Ia tidak bicara apa-apa lagi. Begitu pun juga diriku. Kami duduk di bangku taman dalam diam. Tidak ada yang bicara sedikitpun. Biar begitu sekali-kali aku menoleh untuk memperhatikan wajahnya. Dari jarak sedekat ini, aku semakin yakin kalau aku pernah melihatnya disuatu tempat...

Sampai akhirnya langit sudah mulai menggelap. Dia berdiri dan mengambil tongkat penyanggahnya.

“Menurut perhitungan ku, kurasa sekarang sudah mulai gelap. Sebaiknya aku kembali ke kamar ku. Kau juga sebaiknya pulang. Arigatou gozaimasu, sudah mau menemani ku. Sayonara.” Senyum nya padaku, sekalipun matanya menatap ku kosong. Tidak. Dia tidak menatap ku.
“Mau kuantar ke kamar mu?” tawarku, sambil ikutan berdiri.
“Ahaha arigatou. Atashi wa dojoubu desu.” Tolaknya halus. Ia pun melangkah pergi menjauh. Aku menatapi punggungnya yang pergi semakin jauh. Sampai akhirnya ia tidak terlihat lagi. Aku kembali duduk di bangku itu. Membiarkan rasa aneh dalam hati ku menggelayuti ku.

Kenapa aku begitu kecewa mengetahui ia tidak akan pernah melihat ku?

~@~@~@~@~

Besoknya, kutemukan dia di tempat biasa, hari ini sebenarnya libur, tapi aku sengaja tetap datang. Semalaman aku terus memikirkan dia. Rasanya, aku ingin terus melihat gadis itu. Dan sakitnya, sekalipun aku melihatnya, ia tidak akan melihat ku.

Konnichiwa!” sapa ku ceria. Aku dapat melihat ekspresi kagetnya dicampur kebingungan. Aku tertawa melihat nya kaget begitu. “Ore wa. Yang kemarin.” Aku pun mengambil duduk di sampingnya.
“… Kau… yang kemarin? Kau… datang lagi?” tanyanya. Aku menatapnya. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Ia membungkam mulut nya dengan tangannya.
Dojoubudesuka?” tanya ku kebingungan. Dan saat itu lah, ku lihat ada air mata yang mengalir keluar. Aku terlonjak kaget melihatnya menangis. “A-a… aku tidak berbuat apa-apa… apa aku melakukan kesalahan?” tanyaku hati-hati.
“Ku… kupikir kau tidak akan kembali. Haha… kupikir kau sama saja dengan yang lainnya… kupikir kau tidak akan kembali lagi untuk orang cacat seperti ku…” jawabnya sambil masih menangis, sekalipun ia berusaha untuk tertawa di tengah tangisnya.

Mendengar itu, tiba-tiba saja badan ku bergerak dengan sendirinya. Aku memeluknya. Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku memeluknya?! Kenapa sih badan ku sejak kemarin tidak bisa diatur?! Tapi aku sudah terlanjur memeluknya… awalnya dia juga kaget dengan tindakan ku yang tiba-tiba ini, tapi akhirnya ia menyender di bahu ku. Membiarkan kaus ku basah dengan air matanya.

“Sudah ku bilangkan… tidak semua orang seperti itu. Aku berbeda…” ujar ku sambil mengelus-elus kepalanya lembut. “Ssst… jangan menangis…”
Gomenasai…” ia menjauhkan kepalanya dan menyeka air matanya sendiri. “Semenjak aku buta, aku jadi sentimentil hahhaha.” Tawanya, sekalipun masih ada air mata yang mengalir di pipinya. Tangan ku bergerak, menyeka sisa air mata nya. Ia terhenti. Wajahnya tepat menatap lurus kearah ku. Tapi aku yakin… ia tidak melihat apa-apa dari sana.

Hajimemashite, watashi wa Fujigaya Taisuke desu.” Aku memperkenalkan diriku.
“Oh, souka. Fujigaya-san.” Senyumnya.
Iie, panggil aku Taisuke saja.”
“Taisuke? …. Taisuke-kun?”
Hai, begitu juga boleh.” Senyum ku.
Yoroshiku, Taisuke-kun. Watashi wa Fujiwara Ragau desu. Kau bisa panggil aku Ragau.” Sekarang giliran dia yang memperkenalkan diri.
Yoroshiku, Ragau-chan~” jawabku. Dia tertawa mendengar ku memanggilnya seperti itu. Untuk beberapa saat, kami hanya saling tertawa. Tapi coba pikir, aku seperti pernah mendengar nama nya…

“Taisuke-kun, kau masih sekolah?” tanya Ragau.
Hai. Dan kau tahu, sekolah ku tepat berada di samping rumah sakit mu.” Jawabku.
“He? Seirin gakusei?!” kaget Ragau.
“Hn? iya itu nama sekolah nya. Kau tahu nama sekolah ku?”
“Tentu saja! Aku juga sekolah disana! Wah… suatu kebetulan…”
“Kau sekolah disana juga?” tanya ku kaget.
“Eung! Mungkinkah kita pernah bertemu…?” tanyanya sambil melamun.
Wakaranaiyo. Mungkin. Mungkin saja sebenarnya kita pernah bertemu.” Senyumku. Dan sekarang aku akhirnya tahu mengapa rasanya aku pernah melihat dia. Mungkin memang pernah kami bertemu beberapa kali di sekolah.
“Fujigaya Taisuke… ……” ia seakan berpikir. Aku hanya tersenyum melihat wajahnya itu. Lucu. Tiba-tiba saja ia tersentak kaget, seakan mengingat sesuatu. “Kau temannya Tama?!” tanya nya sekali lagi dengan ekspresi kaget.
“He? Kau kenal Tama? Iya… aku teman nya Tama.” Jawabku.
“Taisuke-kun… Sukechi?” cengirnya.
“Sukechi??” bingungku.
“Kau si pemain gitar kan? Sukechi, aku termasuk fans band kalian. Ahaha kenapa bisa aku tidak sadar saat pertama kali kau menyebutkan nama mu, ya?” tawanya senang. Dan di saat yang bersamaan, seakan otak ku lagi-lagi tak bisa berkerja. Blank. Apa katanya tadi? Fans kami? ……. Dia… FANS KAMI?!
HONTONI?!” tanya ku kaget luar biasa.
“Hn! Kau mungkin tidak tahu, tapi sebenarnya aku ini fans kalian. Aku kan ikut club basket. Kadang kalau aku lewat depan studio kalian, aku bisa mendengar permainan kalian bertiga. Sekolah sudah sepi kalau sore hari, hanya lagu kalian yang melantun indah di sekolah saat itu.” Ceritanya. “Dan kadang aku berhenti dulu hanya untuk mendengarkan permainan kalian.” Lanjutnya.

“Wah… baru kali ini ada yang bilang kalau dia fans kami. Lagipula, kami kan bukan band sungguhan…” ujarku sedikit salah tingkah.
“Oh? Begitukah? Sayang sekali… padahal aku suka band kalian.” Dia mengembungkan pipinya. Aku tersenyum. Hari ini, aku merasa ada perbedaan darinya. Aku sendiri tidak tahu darimana aku bisa seyakin ini, tapi aku sangat senang… dia bisa enjoy saat bersama ku. berbeda dari kemarin, hari ini kami penuh canda. Ternyata dia tidak sependiam yang ku kira…

Menarik…

Lagi-lagi langit sudah mulai menggelap tanpa kusadari. Padahal aku masih ingin bersama Ragau lebih lama lagi. Aku ingin dengar dia bercerita. Aku ingin melihat senyuman dan tawanya. Aku ingin ia melakukan lelucon lagi. Aku masih ingin di sini bersamanya…

Ragau berdiri dan mengambil tongkat penyanggahnya. Ia berbalik dan menghadap kearah ku yang juga ikutan berdiri. Beda dari kemarin, kali ini ia menatap ku sambil tersenyum ceria.

“Aku harus kembali ke rumah sakit. Jya, Sukechi.” Senyumnya. Ia membalikkan badan, bahkan sebelum aku sempat menjawabnya. Saat ia mulai melangkah menjauh, kaki ku bergerak menghampirinya. Dia yang menyadari aku berjalan di samping nya jadi terhenti.
“Biar ku temani sampai kamar rawat mu. Tak apa, kan?” tanya ku padanya. Ia terdiam untuk beberapa saat, baru setelah itu tersenyum lagi.
Arigatou.” Jawabnya.
Douitashimashite.” Aku merasa lega. Aku yakin, sedikit demi sedikit Ragau pasti akan terbuka padaku.

Kami berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Aku yang memegangi Ragau, hanya bisa mengikuti kemana dia melangkah. Apa dia sudah hapal jalanan menuju kamar nya? Sampai akhirnya kami tiba di depan pintu suatu kamar rawat. Dengan yakin, Ragau membuka pintu tersebut. Dan terlihat lah seorang wanita paruh baya sedang duduk di bangku dekat kasur.

Wanita itu langsung berdiri dari duduknya, awalnya ia tampak kaget, tapi saat melihat Ragau, raut wajahnya berubah jadi tersenyum.

Okaeri, Rachan.” Senyum wanita tersebut sambil membantu Ragau. Aku menunduk hormat sebagai salam. Wanita itu pun balas menunduk sekilas, dan tersenyum kearah ku. “Kau teman Rachan?” tanya nya.
“Ah, eng… hai…” jawabku bingung. Dibilang teman, mungkin saja. Tapi kami bahkan baru berkenalan tadi.
“Oka-san, kenalkan ini Fujigaya Taisuke. Sukechi, ini ibu ku.” Ragau memperkenalkan kami berdua.
Yoroshiku onegaishimasu.” Aku menunduk hormat sekali lagi.
Yoroshiku.” Senyum ramah sang ibu.
“Sukechi, bukannya aku mau mengusir, tapi tak apa kalau kau terus disini? Bukankah ini sudah malam?” tanya Ragau.
“Benar juga, apa tak apa? Orang tua mu tidak mencari mu?” ibu Ragau ikutan bertanya.
“Ah dojoubu… ini belum terlalu malam, kok. Tapi… sebaiknya aku pulang saja. Ragau-chan, istirahat lah. Aku akan datang lagi nanti.” Jawabku.
Hai.” Senyum senang Ragau.
Jya, mata ashita.” Pamit ku.
Jya, ne.” Ragau melambaikan tangannya.
“Biar kuantar.” Senyum ramah ibu Ragau. Kami berdua keluar dari kamar rawat.

“Kau teman sekolah anakku?” tanya oba-san tiba-tiba dalam perjalanan.
Hai.” Jawabku.
“Aku belum pernah melihat mu… apa kau teman barunya di kelas 3? Tapi kemarin aku juga tidak lihat kau datang menjenguk.” Ujar oba-san.
Eto… sebenarnya kami baru berkenalan hari ini.” jawab ku jujur akhirnya.
“Oh, souka. Kenapa bisa berkenalan dengan anak ku?” tanya oba-san sekali lagi. Aku menoleh kearahnya dan baru kumengerti, dia sedang menyelidiki ku. “Kalau kau hanya mau mempermainkan anak ku, lebih baik berhenti lah.”

Aku langsung terhenti mendengar kalimatnya yang terakhir. Apa maksudnya? Aku mempermainkan Ragau??

“Tapi, oba-san…”
“Kau tahu kondisi Ragau saat ini… ia sudah tidak seperti dulu lagi, banyak teman-temannya yang memperlakukannya berbeda dari yang dulu. Ia pun berubah jadi sangat sentimentil. Butuh perjuangan untuk membangkitkan kembali semangatnya. Dan aku tidak akan membiarkan orang lain mendekati anak ku hanya untuk mempermainkannya.” Tegas oba-san sambil menatap ku tajam. Aku tak lagi melihat senyuman ramahnya. Ia serius.

“Sebelum kau membuat nya hancur, lebih baik jangan datang lagi.” Itulah kalimat terakhirnya, sebelum akhirnya ia membalikkan badan dan meninggalkan aku yang terdiam di tempat.

Selama perjalanan pulang, aku memikirkan kata-kata oba-san. Tak heran kalau ia berkata seperti tadi. Ia hanya khawatir aku datang untuk mempermainkan Ragau. Tapi aku mendekati Ragau bukan karena aku ingin mempermainkannya. Aku memang ingin dekat dengan Ragau.

Dan rasanya, di dalam sini, di dalam hati ku, ada perasaan sakit yang menusuk saat ibu nya menyuruh ku untuk tidak lagi datang. Apa aku akan menurutinya begitu saja? Lalu aku tidak akan melihat Ragau lagi? ……

~@~@~@~@~

Aku terengah-engah. Setelah lama aku berlari, akhirnya aku sampai juga di sini. Di rumah sakit. Tepat di depan pintu kamar rawat Ragau. Ku buka pintu kamar rawat tersebut. Oba-san yang sedang terduduk menoleh kaget, dan begitu melihat ku berdiri di depan pintu, matanya melebar.

“Ka-kau?” kaget oba-san. Ia menoleh kearah Ragau yang duduk diam diatas kasur dengan wajah bingungnya. Aku menunduk hormat kearahnya. Aku sengaja tidak berbicara sedikit pun. Aku tidak ingin Ragau mendengar ku. aku hanya tidak ingin ia tahu kalau aku sengaja membolos sekolah, hanya karena ada yang ingin ku bicarakan dengan ibunya.

“Tunggu sebentar, ya, Rachan.” Ujar ibunya tenang. Oba-san pun akhirnya menghampiri ku, dan kami berdua keluar. Oba-san membawa ku ke tempat tunggu yang sepi. Ia duduk di salah satu bangku, dan menunggu apa yang ingin ku bicarakan.

Aku langsung menunduk hormat kearahnya. “Aku ingin terus berteman dengan Ragau. Tolong ijinkan aku.”

Tidak ada jawaban. Aku pun terus menunduk sampai aku mendengar jawabannya. Menunjukkan betapa seriusnya aku saat ini.

“Kenapa…… kenapa kau ingin terus berteman dengan anakku?” tanya oba-san, akhirnya bersuara. Aku mendengak, dan berdiri tegak di depannya.
“Aku sendiri juga masih belum mengerti, tapi aku ingin terus melihatnya. Aku ingin terus mendengar suaranya. Aku ingin terus menemaninya. Saat kau menyuruh ku untuk tidak datang lagi, aku rasanya kesal. Aku tidak ingin seperti itu. Jadi ku mohon ijinkan aku.” Jawabku.
“…… Dengan kata lain, kau mengatakan padaku kalau kau menyukai anakku?” tanya oba-san, dan kali ini, saat aku mendengar kata-katanya, tiba-tiba saja jantung ku berdebar kencang. Menyukai Ragau? ……… aku belum pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Tapi… masa iya?

“Kau sendiri juga masih belum tahu perasaan mu yang sesungguhnya?” tanya oba-san sekali lagi, tepat mengenai ku. aku diam berpikir. Suka… ya? selama ini aku belum pernah memikirkan hal itu. Aku juga tidak terlalu memikirkannya, sih… tapi… memang baru kali ini aku merasa ada yang aneh dihati ku.

Rasa bahagia saat melihat senyumnya. Rasa sedih saat melihat tangisnya. Aku ingin terus melihat dirinya. Aku ingin terus bersamanya. Saat ku tahu ia tidak ada di tempat biasa ku lihat dia, ada rasa kecewa dalam hati. Saat orang lain menyuruh ku untuk tidak menemuinya lagi, ada rasa kesal yang timbul.

Apa itu bisa dibilang kalau aku menyukai Ragau? Bukankah ini terlalu cepat? Aku baru melihatnya beberapa hari saja…

Tiba-tiba ku dengar oba-san menghela napasnya panjang. “ Sepertinya kau akan terus datang sekalipun aku tetap melarang, ya? apa boleh buat. Melihat mu bolos hari ini hanya untuk mengatakan hal itu saja sudah membuatku mengerti. Lebih baik, cepat-cepat kau sadari apa yang sebenarnya kau rasakan pada anak ku. ku harap kau tidak memberinya harapan palsu kedepannya.” Senyum nya ramah.

“Mau menemuinya?” tawar oba-san sambil berdiri dari duduknya.
Iie. Nanti dia tahu kalau aku membolos. Tapi… nanti sore aku akan datang lagi.”
Souka.”
“Oba-san… arigatou gozaimasu.” Aku menunduk hormat sekali lagi.

To be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar