Genre : romance
Rate : general
Cast : Fujigaya Taisuke (Kiss-my-ft2), Fujiwara Ragau.
Support cast : Yuta Tamamori (Kiss-my-ft2), Hikaru Yaotome (HSJ)
Summary : I want to see you. I didn’t blind, but why I can’t see you?...
~@~@~@~@~
Jreng… jreng…
Aku mencatat beberapa not ke kertas di depan ku. tinggal sedikit lagi, lagu ciptaan ku jadi. Aku ingin cepat-cepat memperdengarkan ini pada Ragau. Kira-kira bagaimana tanggapannya untuk lagu ini ya? apa dia suka? Atau justru tidak suka? Apa dia dapat merasakan pesan yang kuantar melalui lagu ini ya?
“Taisuke, ternyata kau disini?” aku mendengak dan melihat Tama masuk ke dalam ruangan studio.
“Yo.” Jawabku, dan kembali serius dengan gitar ku.
“Apa yang kau lakukan?” ia duduk di samping ku dan memandangi partitur not yang ku buat. “Apa itu?”
“Aku sedang membuat lagu. Ssst! Tenang lah.” Suruhku.
“Heee… kau buat lagu? Untuk apa?” Tama mengambil kertas itu dan membacanya.
“Kembalikan! Sudah sana, sana. Kau mengganggu konsentrasi ku saja.” usir ku.
“Hey, ini kan bukan ruangan milik mu. Lagipula tumben-tumben sekali kau buat lagu…… apa ini untuk Ragau?” tanya Tama tepat. Aku hanya diam, menutupi salah tingkah ku.
“Su-sudah sana, cari Hikaru!” ujarku terbata-bata.
“Heeemm… kalau begitu hari ini kita tak usah latihan saja. kau selesaikan saja lagu untuk Ragau itu.” Ujar Tama. Dan aku tidak bisa mengelak.
“Nee, Taisuke…” panggil Tama.
“Nani?”
“Menurut mu… apa Ragau akan bisa melihat lagi?” tanya Tama. Aku berhenti dan menatapnya. “Kau tahu kan, dia bisa saja melakukan operasi.” Lanjutnya.
“…… Tidak semudah itu…” jawabku.
“Hm?”
“Tidak semudah itu mencari kornea, Tama. Aku pernah membicarakan ini dengan ibu dan ayahnya. Alasan mengapa Ragau tetap di rumah sakit, selain belajar jalan kembali, yaitu mencari donor kornea. Tapi di Jepang susah mendapatkan itu. Jarang ada kornea yang masih bagus, yang masih bisa digunakan.” Cerita ku.
“Oh…” angguk Tama mengerti. Dia pun akhirnya berdiri dari duduknya sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Sahabat ku ini ternyata memang jatuh cinta pada gadis itu, ya? aku tidak menyangka kau sampai seserius ini. sampai mencari tahu tentang donor kornea, dan menciptakan lagu segala. Ku dukung kau, Taisuke. Ganbatte ne.” Senyum Tama. Ia keluar dari studio, membiarkan ku sendirian.
Sedangkan aku jadi memikirkan hal tadi. Donor kornea ya…… haa… kapan ya Ragau dapat donor Kornea? Aku memang tidak ingin egois, tapi kadang muncul perasaan kalau aku ingin Ragau menatap ku. bukan tatapan kosong yang selalu ia berikan padaku.
Aku tahu dia sendiri pasti tidak mau begitu. Dia memang gadis yang kuat. Kalau aku jadi dia… disaat aku tidak bisa membedakan siang dan malam, disaat aku akan selalu menatap ke dalam kegelapan, bahkan disaat aku bangun dari tidur ku, aku akan terus melihat kegelapan… mungkin saat itu aku lebih baik mati daripada terus melanjuti hidup ku.
Tapi untung lah Ragau tidak seperti itu… kalau Ragau memilih jalan mati, lalu bagaimana dengan diriku? … bagaimana kalau tidak ada lagi Ragau di taman itu? Bagaimana kalau Ragau menghilang entah kemana? Aku bahkan tidak bisa berpikir…… kurasa aku memang sudah begitu mencintainya…
Aku sendiri tidak mengerti bagaimana bisa aku mencintainya, tapi perasaan ini terus muncul, dan justru semakin kuat. Namanya sudah tertera dalam hati ku.
Aku menaruh gitar ku, dan berjalan keluar studio. Meluruskan badan ku dan merenggangkan otot-otot ku. ku pandangi pohon-pohon bunga sakura di depan ku. sakura… ku rasa aku sudah tidak lagi membenci nya. Sekarang aku justru menyukainya. Aku suka musim ini. musim dimana aku bertemu dengan Ragau.
Musim dimana aku menemukan cinta ku.
~@~@~@~@~
“Yosh, tinggal satu bab lagi, maka kita akan tahu bagaimana akhir dari kisah ini yaa…” ku tutup buku tebal itu. Ku taruh di sampingku, lalu merenggangkan otot-otot ku.
“Hontoni? Tinggal 1 bab lagi? Aaahh… aku penasaraaan.” Semangat Ragau yang duduk disampingku. “Arigatou.” Lanjutnya.
Aku menoleh dan memandangnya tengah tersenyum manis. Senyuman yang selalu ku suka. Tapi… terimakasih untuk apa?
“Aku tidak menyangka, aku bisa tahu bagaimana jalan cerita dalam buku itu. Kalau tidak ada dirimu, mungkin untuk selama nya cerita itu tidak akan pernah berakhir. Arigatou ne.” jelasnya, seakan bisa membaca pikiranku.
“Tidak masalah.” Jawabku. Kami pun terdiam, menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus tenang. Aku sangat suka suasana seperti ini. tenang dan tentram. Terlebih lagi… orang yang kusayangi, duduk disamping ku dengan senyumannya mengembang manis… akan terus kuingat saat-saat seperti ini…
“Eung? Aku baru menyadarinya… kau sudah tidak pakai tongkat penyanggah lagi?” tanyaku.
“Hai! Aku sudah bisa berjalan dengan lancar.” Senang Ragau.
“Souka… omedeto ne.” aku mengusap-usap kepalanya.
“Kemungkinan, aku sudah bisa pulang ke rumah, tidak lama lagi. Aah.. aku sudah sangat merindukan rumah ku.” lamunnya. Saat sedang seperti ini, aku justru mendengar pantulan bola basket. Aku menoleh dan melihat beberapa orang lewat. Mereka mengobrol sambil mendribble bola basket.
“Aa~h… aku rindu suara itu. Suara pantulan bola basket…” gumamnya, yang ternyata juga mendengar mereka. Aku teringatkan kalau Ragau dulu nya adalah anggota club basket. Dia pasti juga sangat merindukan saat-saat ia berlari di lapangan, mendribble bola, dan mencetak angka.
“Kau suka basket?” tanyaku.
“Tentu saja, kan? Kalau tidak, untuk apa aku ikut club?” tawanya. “Tapi percuma saja, aku sudah tidak akan bisa bermain lagi.” Ia berubah jadi lesu. Untuk beberapa saat aku hanya terdiam memandanginya. Aku ingin berbuat sesuatu untuk nya. Tapi bagaima-…… aha!
“Kau masih bisa main, kok!” ujarku.
“He? Masih bisa? Bagaimana caranya?” bingungnya.
“Let’s go!” aku meraih tangannya lembut, dan mengajaknya ke suatu tempat. aku berjalan kearah sekolah yang masih dibuka. Penjaga sempat kebingungan melihat ku dan Ragau, tapi dia mengijinkan kami masuk.
Aku pun jalan menuju gedung olahraga. Sesampai disana, aku menyuruh Ragau untuk menunggu ku sebentar, sementara aku mengambil bola basketnya. Aku kembali ke tempat Ragau, dan ku berikan bola itu ke tangannya.
“Kore…” kaget Ragau, saat telapak tangannya menyentuh bola basket.
“Kau masih bisa main. Akan ku bantu.” Senyum ku. aku menggenggam tangan kanannya, dan mencoba mendribble bola basket, dengan mengarahkan tangan Ragau. Ku lihat ia tersenyum lebar. “Mau coba mencetak angka?”
“Ta-tapi bagaimana bisa? Aku bahkan tidak bisa lihat dimana ring nya.” Jawabnya.
“Kan ada aku.” Bisikku. “Pegang lah.” Aku menyuruhnya untuk menggenggam bola basketnya erat. Aku pun mendekatkan tubuhku pada tubuhnya, ku peluk dirinya dari belakang. Dan dengan helaan satu napas, ku angkat tubuh mungilnya.
“A-aaa… Sukechi?!” kagetnya.
“Lempar lah. Ring tepat di depan mu.” Beritahu ku. awalnya dia ragu, tapi akhirnya ia melempar juga bola basket itu, dan… slep…
“M-masukkah?” tanyanya. Aku menuruni badan nya, dan mengusap-usap kepala nya lembut.
“Perfect.” Jawabku. Ku lihat senyuman lagi-lagi mengembang di wajahnya. Dan tiba-tiba saja... …… Ragau bergerak memeluk ku. aku yang kaget hanya bisa terdiam. Debaran jantung ku pun kembali membrutal.
“Arigatou… honto arigatou ne.” ujar Ragau dalam pelukan ku. “Kau selalu ada untuk memenuhi keinginan ku. kau selalu melakukan apapun untukku. Aku benar-benar senang. Sementara aku hanya bisa mengucapkan terimakasih… gomen ne… aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mu…” lanjutnya.
“Iie… kau mungkin tidak menyadarinya, tapi kau telah menolong ku…” menolong ku keluar dari kehampaan diri ku selama ini…
“Entah.. apa yang akan terjadi jika tidak ada kau... mungkin niatan untuk bunuh diri ku sudah ku jalani sejak kemarin-kemarin.” Ujar Ragau membuat jantungku sesaat berhenti.
“Nani?! Kau mau bunuh diri?! Ta-tapi kenapa?” kagetku. Ku lepaskan pelukannya dan ku tatap wajahnya dalam-dalam. Gadis ini, …… pernah ingin bunuh diri?!
“Dulu… aku sempat berpikir begitu… untuk apa aku hidup lagi? Aku juga sudah tidak bisa melihat dunia… aku sudah tidak bisa melakukan apapun. Sama saja seperti aku mati… jadi untuk apa aku hidup? Sekalipun kau ada, kadang aku tetap merasa kesepian. Aku tetap berada dalam kegelapan…”
“Tapi… kau selalu membuat hati ku terasa hangat. Kau selalu melakukan apa yang ingin ku lakukan. Kau memberikan apa yang ku mau. Dan aku jadi bisa melakukannya, saat aku bersama mu. Pikiran itu pun akhirnya pergi. Aku ingin hidup. Aku masih ingin merasakan kehangatan mu…” Ragau menggenggam tangan ku. air mata mengalir di pipi putihnya. Dan dengan senyuman mengembang, ia mendengak dan menatap ku dengan tatapan kosongnya.
“Arigatou, Sukechi.” Ujarnya. Aku pun bergerak memeluknya kembali. Ku dekap tubuhnya erat. Tidak peduli apakah ia bisa mendengar debaran jantung ku atau tidak. Yang saat ini ku inginkan hanyalah memeluknya.
“Jangan merasa kau kesepian lagi. Kau tak perlu melakukan semuanya sendirian. Ada aku disini… biarkan aku melakukan nya untuk mu. Atau kita bisa lakukan bersama-sama.” Bisikku.
“Eung.” Angguknya. Aku mengusap punggung nya lembut, dan membenamkan kepala ku di bahunya.
“Aku ingin melihatmu… Sukechi…” gumamnya pelan. Tapi aku dapat mendengarnya. Aku pun dapat merasakan air mata nya yang mengalir, membasahi baju ku. aku tak bisa berkata apa-apa, yang bisa ku lakukan hanyalah mempererat pelukan ku. membiarkannya terus menangis. Setidaknya… aku akan terus seperti ini, sampai ia merasa lebih baik.
~@~@~@~@~
Aku merenggangkan otot-otot ku setelah lama aku terduduk di atas kasur, dengan gitar di pangkuan ku, dan beberapa lembar kertas di depanku. Akhirnya, lagu ciptaan ku sendiri selesai juga! Ku lakukan review, memainkan gitar ku kembali sambil kadang melirik ke arah kertas.
Setelah melakukan review, aku jadi ingin Ragau mendengarnya. Mengingat kejadian tadi sore… rasanya aku jadi ingin menemuinya lagi. Tapi tak mungkin sekarang, sudah hampir pukul 9 malam. Melihat gadis itu, aku jadi ingin melakukan semua yang ku bisa untuknya. Aku ingin ia mempercayai ku. aku ingin aku menjadi tongkat nya.
Aku mengambil ponsel ku, dan memandangi nama Ragau yang tertera di layar kaca. Kira-kira dia sudah tidur belum, ya? ah… coba saja telepon. Akhirnya aku memutuskan untuk menghubunginya. Tak lama kemudian, ku dengar suara lembut itu menyambutku.
“Moshimoshi?” jawabnya.
“Rachan. Ore wa.” Ujarku.
“Sukechi?”
“Hai. Eto… kau belum tidur?”
“Belum. Kau sendiri?”
“Sama.” Dan kami tertawa bersama, walau memang aku tahu, sama sekali tidak ada yang lucu dari pembicaraan kami. “Ah, ya Ra-chan. Kau ingin dengar lagu ciptaan ku?”
“He? Ciptaan mu? Kau sedang membuat lagu?”
“Iya, tapi belum ada liriknya. Baru instrument nya. Ini juga hanya acoustic.”
“Gyaa, mau dengar! Aku mau dengaar~~” semangatnya.
“Baiklah… tapi tak apa belum ada liriknya?”
“Hai, dojoubu! Aku ingin dengar permainan gitar mu.”
“Oke, oke. Dengarkan baik-baik ya.” aku pun menaruh ponsel ku diatas kasur dan ku tekan tombol ‘loud speaker’. Lalu ku ambil gitar ku, dan mulai memainkannya.
Lagi-lagi, untuk selama beberapa saat, tidak ada suara yang keluar dari Ragau selama aku bermain gitar. Dia seakan menikmati permainan ku. setelah aku selesai bermain, baru terdengar tanggapan darinya. Ia bertepuk tangan dari sebrang sana. Aku senang mendengarnya.
“Sugoii!! Honto sugoii ne!” pujinya.
“Arigatou.” Malu ku.
“Bagaimana jadinya kalau sudah ada liriknya, yaa…” lamunnya.
“Lagu ini… khusus ku ciptakan untuk mu, Rachan.” Ujarku.
“Hontoni?! Hyaaa~ arigatou ne, Sukechi. Aku suka. Sangat suka.” Senangnya.
“Sukechi..” panggilnya tiba-tiba.
“Hai?”
“Aku yakin… suatu saat nanti, aku tidak hanya akan mendengar mu, tapi aku pasti akan bisa melihat mu lagi.” Ujarnya, membuatku terdiam heran. “Aku pasti akan sangat merindukan mu.” Lanjutnya.
“He? Apa maksudmu?” bingungku.
“Iie… huuaamm… aku sudah ngantuk, Sukechi.”
“Oh? Yasudah, tidurlah.”
“Hai, oyasumi.” Pamitnya.
“Ye, oyasumi, Rachan.” Dan baru saja aku mau menutup telepon, ku dengar ia bergumam sesuatu. Ku tempelkan lagi telinga ku pada telepon.
“…Arigatou… sayonara…” dan terputus. Hanya itu yang sempat kudengar. Tiba-tiba saja aku merasa sesuatu tidak enak dalam hati ku. apa artinya ini? apakah akan terjadi sesuatu? Tapi… ah sudahlah… mungkin hanya firasat ku saja.
~@~@~@~@~
“Taisuke-kun~” aku menoleh dan melihat Hikaru tengah berlari kearah ku.
“Nani?” aku berhenti dan menunggu sampai ia sampai ke tempatku.
“Kau akan ketempat Ragau-chan lagi?” tanyanya.
“Tentu saja. ada apa?”
“Aku ikut, yaaaa.” Ia membujukku.
“He? Memangnya kau mau apa?”
“Aku mau datang saja melihatnya. Boleh yaaa…” ia menunjukkan puppy eyes kearah ku.
“Tapi kalau ramai-ramai datang tanpa membawa apa-apa, tidak enak juga. Bagaimana kalau kita belanja dulu.” Ujar Tama, yang entah muncul dari mana.
“Kau juga ikut?” tanyaku pada Tama.
“Hai. Bagaimana kalau kita bawakan makanan? Dia suka makan apa, Taisuke?” tanya Tama.
“He? Makanan kesukaannya?” aku berpikir. Kalau dipikir-pikir… aku tidak tahu apa-apa tentang Ragau. Kenapa tidak terpikirkan oleh ku untuk mengetahui tentangnya lebih jauh, ya?
“Kau tidak tahu, ya?” tebak Hikaru, tepat mengenai ku. aku hanya menunduk sebagai jawaban.
“Yah, apa boleh buat. Kita beli saja asal. Setelah itu, kau harus lebih memerhatikan gadis yang kau sayangi, Taisuke.” Nasihat Tama.
“Hai…..” jawabku lesu, aku jadi merasa bodoh.
Akhirnya kami memutuskan untuk membelikannya teriyaki. Semoga saja dia suka deh. Setelah selesai membeli makanan, kami pun pergi menuju rumah sakit. Sebenarnya aku ragu membawa Hikaru dan Tama. Mereka berdua kan belum pernah ke kamar rawat Ragau. Eh… Tama pernah. Tapi tetap saja… aku tidak suka. …… mungkin ini yang namanya cemburu, ya…
Aku hanya ingin aku seorang yang lebih dekat dengan Ragau dibandingkan dengan siapapun. Yasudahlah… toh hanya aku yang memanggil nya Rachan. Hihihi…
“Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” tanya Tama yang memperhatikan ku.
“Eh? Iie…” jawabku, tersadarkan. “Ah, ini dia kamarnya.” Kami sampai di depan kamarnya. Aku pun segera membuka pintunya dan masuk ke dalam.
“Racha-…… he? Ra…chan?” bingung ku. kamar terlihat kosong. Kasur tempat dimana Ragau akan menyambut ku, kosong dan rapih. Tidak ada oba-san yang tersenyum ramah menyambut ku. atau sekedar oji-san yang menatap ku tajam, walau pada akhirnya ia menyengir ceria kepada ku. ……. Kemana mereka?
Tiba-tiba saja perasaan tidak enak yang kurasakan semalam muncul lagi. Rasanya sesak dan sakit, walau tidak jelas apa penyebabnya. Aku jadi khawatir dan panik. Aku pun keluar dan berlari kearah lobby. Dapat ku dengar Hikaru dan Tama memanggil nama ku dari belakang.
“Sumimasen, pasien kamar 307 kemana, ya?” tanya ku pada petugas di lobby.
“307? Tunggu sebentar.” Wanita yang menjaga di lobby segera mengecek ke dalam buku daftar yang ada di depannya. “Oh, Fujiwara-san?” tanyanya.
“Hai.” Jawabku.
“Mereka sudah keluar dari rumah sakit sejak kemarin.” Jawab wanita itu.
“Kemarin? Tapi kemarin sore aku masih mengantar Rachan ke sini.” Kagetku.
“Ya, mereka pulang malam hari. Fujiwara-san sepertinya buru-buru.”
“Buru-buru?” bingungku.
“Kalau tidak salah, aku sempat mendengar mereka mau segera packing.”
“Nani?!” lagi-lagi aku terlonjak kaget. Packing? Packing untuk apa!?
“Taisuke-kun, apa yang terjadi?” tanya Hikaru dan Tama saat mereka sudah sampai disampingku.
“Rachan sudah pulang.” Jelas ku. gadis itu… sudah pulang, dan tidak memberitahukan ku. dia bahkan tidak mengatakan dia akan pulang hari itu juga kemarin. Padahal seharian aku bersamanya. Kenapa dia tidak memberitahukan ku?
“Ah! Tama, kau tahu dimana tempat tinggalnya, bukan? Kau teman sekelasnya, kan?” ingat ku.
“Kami memang teman sekelas… tapi kan hanya 3 bulan, setelah itu Ia masuk rumah sakit, kan? Aku belum sedekat itu dengannya.” jawab Tama.
“…… Sou…ka?” lesu ku.
“Ah, begini saja, bagaimana kalau kita tanya teman nya yang lain. Temannya yang dari kelas 2. Harusnya mereka ada yang tahu dimana rumah Ragau-chan. Ya, kan?” usul Hikaru.
“Iya. Mereka pasti tahu.” Sambung Tama.
“Kita akan bantu, Taisuke. Jangan cepat menyerah!” Hikaru memberikan semangat.
“Apa Ragau meninggalkan pesan?” tanya Tama. Sedangkan aku hanya diam dan tetap menunduk. Tidak ada… tidak ada pesan. Ia sama sekali tidak mengatakan apa-apa padaku… …… kenapa seakan ia ingin pergi dari ku, ya?
Lagi-lagi rasanya sakit di dalam hati. Apa aku tidak akan pernah melihatnya lagi? Apa memang benar ia ingin pergi dari ku? Tapi kenapa? … apa dia membenci ku? apa-…
Tiba-tiba kurasa seseorang menepuk pundak ku. aku menoleh dan melihat Tama tengah tersenyum kearah ku, begitu juga dengan Hikaru.
“Kalau diam saja, tidak akan mendapatkan apa-apa. Come on.” Ajak Tama.
“……. Hai!” aku pun mengangguk. Kami akhirnya keluar dari rumah sakit, dan dengan bantuan Tama juga Hikaru, kami akhirnya mendapatkan alamat Ragau.
Sekarang kami berdiri di depan gerbang yang terbuat dari kayu. Dari depan, dapat terlihat rumah yang sederhana berwarna putih. Hikaru menekan tombol bel rumah tersebut. Tak ada jawaban. Tama mencoba mendorong gerbang tersebut, yang ternyata tidak terkunci. Kami pun masuk ke dalam.
Suasana rumah nya benar-benar adem dan sejuk, dengan beberapa pohon besar tumbuh di samping rumah. Ada kolam ikan, dan beberapa tumbuhan bonsai menghiasi. Rumah nya ternyata bermodel rumah Jepang jaman dulu yang masih menggunakan tatami dan pintu geser. Biar sederhana, tapi kalau di perhatikan lagi, rumahnya sebenarnya luas.
Benar-benar menggambarkan Ragau…
Kami pun melangkah ke depan pintu. Aku mengetuk pintunya beberapa kali, tapi tetap tak ada jawaban. Apakah semua orang sedang pergi? Tapi apa iya Ragau juga pergi? Atau sebenarnya ia ada di dalam, dan tidak bisa membukakan pintu?
“Sumimasen! Rachan! Kore no ore wa!” teriakku. Tapi tetap tidak ada jawaban. Sunyi.
“Eto… apa yang kalian lakukan disini?” aku menoleh dan melihat seorang wanita tua berhenti di depan gerbang, melihati kami dengan tatapan bingungnya.
“Eng… kami mencari orang rumah ini.” jawab Hikaru.
“Fujiwara-san?” tanya wanita itu.
“Hai. Apakah… oba-san tau kemana mereka pergi?” sekarang aku yang bertanya.
“Mereka sudah pindah dari sini. Baru saja tadi pagi mereka berpamitan dengan para tetangga. Sepertinya mereka akan pergi jauh, habis sampai bawa koper segala. Dan kalau tidak salah dengar, mereka buru-buru ke bandara, takut ketinggalan pesawat.” Cerita wanita itu.
Dan disaat itu juga, aku membeku. Tak dapat berbicara, dan tak dapat bergerak. Apa maksudnya… bandara dan pesawat? Apa… benar mereka akan pergi jauh? Tapi kemana? Dan berapa lama? Aku yang shock tak bisa mengeluarkan kata-kata sedikit pun. Hanya bisa terdiam dengan mata melebar. Masih tak percaya.
“… Apa oba-san tahu, mereka akan pergi kemana?” tanya Tama kali ini. wanita itu menggeleng.
“Tidak ada yang tahu. Mereka tidak mengatakan ingin pergi kemana.” Jawabnya. Aku sudah tak dapat mendengar apa-apa lagi, seakan aku termakan oleh diriku sendiri. Tubuhku jadi terasa lemas. Aku tak dapat berpikir apa-apa. Kosong. Itulah kata yang pas untuk menggambarkan diriku saat ini.
Sampai akhirnya wanita tua itu pergi, aku masih terdiam di tempat.
“Taisuke…” aku dapat mendengar Hikaru memanggil ku. tapi jangankan untuk menjawab, bergerak pun aku rasanya tak sanggup. Ku rasakan sebuah tangan menepuk pundak ku lembut. Tama seakan berusaha memberikan sedikit tenaga untukku.
Tapi tidak ada yang bicara apa-apa. Aku yakin mereka sendiri juga tidak tahu apa yang bisa mereka katakan. Ragau pergi. Menghilang tanpa jejak. Ia tidak meninggalkan apa-apa padaku. Ia juga tidak bicara mengenai kepergian nya ini sebelumnya. Seakan memang ini mendadak. Seakan memang ia menghilang begitu saja. ia lenyap.
Ia pergi, disaat aku yakin akan perasaan ku, kalau aku benar-benar mencintainya sekarang.
Dan aku tidak tahu… “tidak tahu” untuk semua pertanyaan…
~@~@~@~@~
Sekarang, sudah hampir 5 tahun semenjak kepergian Ragau. Dan aku masih belum tahu apa-apa tentang dirinya. She like doesn’t exist anymore in this world. Aku sempat putus asa. Setelah kepergiannya yang mendadak itu, aku bagaikan hidup tidak dan mati pun juga tidak.
Aku jadi sering tidak masuk sekolah, sampai-sampai absent ku parah dan aku dipanggil guru. Aku selalu mengurung diriku dikamar. Aku bahkan sempat membanting gitar ku, membuatnya hancur berantakan. Itu karena baru kusadari, itu semua selalu mengingatkan ku pada Ragau.
Dari kelas ku, aku bisa melihat taman itu. Taman dimana aku melihat nya pertama kali, sedang duduk melamun disana. Gitar, mengingatkan ku kalau dia sangat menyukai permainan ku. bahkan dia mengaku kalau dia adalah fans kami. Semua yang kulakukan, akan mengingatkan ku padanya. Membuatku sakit akan semuanya.
Aku tidak tahu apa makanan kesukaannya. Aku tidak tahu apa warna kesukaannya. Aku tidak tahu apa musik kesukaannya. Aku tidak tahu apapun tentangnya. Aku tidak tahu. Aku…… tidak tahu apa-apa… dan dia tidak memberikan ku kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh lagi…
Dan bahkan… aku belum menyelesaikan membaca buku itu. Tinggal 1 bab lagi… tinggal 1 bab lagi padahal… dan dia sudah menghilang. Pertemuan kami bahkan lebih singkat daripada buku itu… Dia bahkan belum mendengarkan lirik lagu ku, ah tidak… saat itu… aku bahkan belum sempat membuat liriknya. Kenapa dia pergi begitu cepat? Easy come, easy go…… she is just like that…
“Taisuke-kun, Ta-kun, ternyata kalian berdua disini. Sejak tadi aku mencari-cari kalian tahu.” Tiba-tiba Hikaru memunculkan kepalanya lewat celah pintu yang terbuka setengah, sekaligus menyadarkan ku dari lamunan panjang ku. “Kita harus rehearsal.”
“Ah, souka.” Tama berdiri dan merenggangkan tubuhnya. “Ngomong-ngomong, Hikaru, aku sudah mengatakan berkali-kali untuk tidak memanggil ku seperti tadi.” Protes Tama sambil menghampiri Hikaru.
“Tapi kelihatannya kau menyukainya.” Cengir Hikaru dan menghilang kedalam.
“Darimana sampai kau bisa menyimpulkan kalau aku menyukainya, huh?!” Tama pun menghilang ke dalam dan menutup pintu. Tinggallah aku sendirian disini. Masih duduk terdiam, menikmati angin yang sejuk.
Sakura… aku tidak lagi membenci nya, tapi… aku juga tidak lagi menyukainya. Biar begitu… selalu ada yang aneh di dalam hati setiap aku melihat bunga itu. Rasanya sangat sesak, sampai aku tidak bisa bernapas. Bahkan kadang, sampai aku tak sadar meneteskan air mataku.
Setelah menghela napas panjang, akhirnya aku bangun juga dari duduk ku dan pergi menyusul Hikaru juga Tama ke dalam. Aku pun masuk ke dalam ruang tunggu kami. Ku lihat Hikaru dan Tama sudah bersiap-siap.
Aku duduk di salah satu bangku kosong, yang kebetulan di depannya tergeletak tas ku. iseng, aku pun mencari-cari iPod ku yang ku simpan di dalam tas. Bukannya menemukan iPod, yang terambil oleh ku justru sebuah lipatan kertas, yang bahkan aku sendiri tidak ingat apa isi nya.
Ku coba membuka lipatan-lipatan kertas itu, sampai akhirnya terpampang lah partitur not-not yang sudah nyaris menghilang karena dicatat dengan menggunakan pensil. Nani… kore? …. …….. loh..? bukankah ini… lagu yang waktu itu kuciptakan untuk… Ragau?
Setelah kepergian Ragau, aku memang sempat putus asa. Tapi bahkan aku tak sanggup membuang lagu yang sengaja ku buat untuknya. Memang waktu itu, aku membiarkan lagu ini begitu saja. toh sudah tidak ada lagi Ragau. Untuk apa aku terus melanjutkannya?
Tapi aku teringat akan kata-katanya. biar ia tidak bisa melihat, ia masih bisa mendengar ku. mendengar permainan ku… membuat ia mengingat kembali lagi akan diriku. Sejak saat itu lah, aku kembali melanjuti membuat lagu ku. aku ingin Ragau mendengar ku. aku ingin ia mengingat akan diriku. Dimana pun dia berada. Aku ingin ia mendengarnya.
Inilah alasan mengapa aku menjadi seorang idola. Aku ingin menjadi idola seterkenal mungkin. Aku ingin bisa memperdengarkan lagu ini dimana saja, biar Ragau bisa mendengar suara ku. agar ia mengingat kembali diriku.
Baka… kenapa bisa aku justru melupakan lagu ini?!
Aku langsung bangkit dari duduk ku dan mencari-cari dimana manager ku. saat ku temukan dirinya, langsung saja ku katakan apa mau ku.
“Manager… ijinkan aku menyanyikan lagu ku.” aku tertunduk memohon kepadanya.
“Taisuke-kun… lagu mu?”
“Ku mohon, manager. Aku ingin membawakan lagu ini. aku ingin, aku yang menyanyikannya. Mungkin akan terdengar aneh karena aku yang bernyanyi. Tapi lagu ini… aku tidak bisa membiarkan orang lain menyanyikannya. Aku ingin ia mendengar suara ku. ku mohon, manager.” Jelas ku.
“Dia? Siapa dia?” tanya manager ku. aku pun berdiri tegak, dan menatap lurus ke arah manager ku.
“Dia…… gadis yang kucintai.” Jawabku tegas. Saat itu, tidak hanya ada manager ku, tapi juga ada beberapa kru. Dan mereka semua langsung shock mendengar jawaban ku.
“Kalau begitu, nyanyikan lah, Taisuke-kun.” Aku menoleh dan melihat Hikaru tersenyum kearah ku.
“Nyanyikanlah dengan penuh perasaan. Sampaikan padanya, Taisuke.” Ikutan Tama.
“Hai.” Jawabku, balas tersenyum.
“Baiklah… toh ini konser kalian. Lakukan saja apa yang mau kau lakukan, Taisuke-kun.” Senyum manager ku.
“Arigatou gozaimasu.” Aku menunduk sekali lagi kearahnya.
Beberapa jam terlewati begitu cepat, sampai akhirnya tiba saat aku akan membawakan lagu ku ini. aku muncul diatas panggung, memperhatikan ribuan penonton sedang memandang ku saat ini. mereka berteriak memanggil nama ku. Ragau… aku sudah punya fans sekarang… apa kau ada diantara mereka?
Kau ada di luar sana… apa kah pernah sekalipun kau mengingat diriku? Apa kah pernah sekalipun kau menyebut nama ku? atau sekedar mencari tahu tentang kabar ku?
Aku merindukan mu. Sangat. Sangat merindukan mu. Aku ingin melihat mu. Ingin sekali. Aku tidak buta, tapi kenapa aku juga tidak bisa melihat mu? Ragau… dengarlah lagu ku, dengarlah suara ku dan permainan ku. ingat lah aku… tersenyum dan bertepuk tanganlah setelahnya, seperti yang selalu kau lakukan tiap mendengar permainan ku.
Aku duduk di tengah panggung, memangku gitar ku. setelah beberapa kali menarik napas, aku pun memejamkan mataku. Mencari kenangan yang tersimpan rapat dalam pikiran ku. mencari-cari wajah Ragau. Mencoba melihat dirinya sekali lagi dalam kenangan ku. aku tersenyum, saat aku akhirnya menemukan bayangan dirinya. Ia tersenyum manis kearah ku. senyuman yang selalu ku suka.
“So we met that day
Since the day I met you I haven’t told you about my feelings
But today I will tell you how I feel in my heart
This song is only for you
I promise you to only looking at your eyes
Stand by your side for protecting and loving you with all my heart
Just one love from you is enough for me
Even if I must lose everything
Just once look at me
Only for you I’ll give you my heart
Do you really not see me?
I only want to look at you, I want to give you my love
I want to put you in my embrace
I keep thinking about you
That never fails to make me smile
You’re my everything, my heart
You captured me, I will only love you
I was secretly laughing at myself
I can’t believe how deep I’ve falling for you
Now I’m like a fool that’s fallen in love
My everything now it’s you
Look at me and I promise you, that I’ll never let you go
Even if the world ends, I’ll love you like a timeless clock that never ends
Just once look at me
Only for you I’ll give you my heart” (-credit : G.O, SuJu, SHINee ^^v)
Kuakhiri nyanyian ku juga permainan ku. sesaat yang ku dengar hanyalah kesunyian. Lalu di detik berikut nya ku dengar riuh tepukan dari para penonton. Aku tersenyum kearah mereka, berdiri lalu menunduk sekilas. Ragau… ku harap kau mendengarnya…
~@~@~@~@~
Aku duduk di sofa, memerhatikan Tama dan Hikaru yang sedang mengecek barang-barang pemberian fans. Aku tidak begitu tertarik dengan hal seperti itu. Aku justru memerhatikan jam tangan ku. sudah mau pukul 10 malam. Aku melihat kesekitar, mencari manager ku. oh, ternyata dia juga sedang beres-beres, berarti sebentar lagi kami akan kembali ke dorm.
“He? Nani kore?” tanya Hikaru bingung.
“Bunga sakura? Kenapa hanya setangkai?” Tama ikutan bingung. Aku pun ikut memerhatikan setangkai bunga sakura yang ada di dalam genggaman Hikaru. Bunga sakura itu hanya setangkai dan diikat dengan pita kecil berwarna putih di ujungnya.
“Pemberian fans?” tanyaku.
“Sepertinya begitu. Tadi salah satu kru yang memberikannya langsung padaku.” Jawab Hikaru sambil menunjuk salah satu kru.
“Tadi ada seorang gadis yang memberikannya padaku. Dia bilang biar hanya itu yang bisa ia berikan, tapi pasti Sukechi akan mengerti. Itu katanya.” Beritahu sang kru.
“Sukechi?” bingung Tama dan Hikaru. Sedangkan aku terdiam. Su-Sukechi? ……. Bukankah itu…
Seakan sesuatu menghantam ku, aku langsung terbangun kaget. Kenapa bisa aku begini bodoh nya?! Aku langsung menghampiri Hikaru dan mengambil setangkai bunga sakura tersebut. Ku perhatikan sekali lagi dari jarak dekat. Setangkai bunga sakura, juga pita kecil. Dan… Sukechi. Tidak salah lagi!
“Kemana pergi nya gadis itu?!” tanya ku buru-buru pada kru itu.
“Eto… dia sudah lama pergi nya. Dia memberikannya padaku saat tadi kalian masih konser. Jadi… kalau sekarang… aku tidak tahu..” jawab kru itu.
Aku terdiam sesaat. Berpikir. Hanya ada satu tempat yang terlintas dalam pikiran ku saat ini. aku pun langsung berlari. Dapat ku dengar Hikaru dan Tama memanggil ku dari belakang, begitu juga dengan manager ku. tapi aku tidak peduli lagi. Secepat mungkin aku harus ke tempatnya. Aku tidak mau kehilangan dia lagi.
Aku yakin… itu pasti dia!
Sambil terengah-engah karena terus berlari, akhir nya aku menghentikan langkah ku. ku sapu pandangan ku ke sekitar, dimana ku lihat banyak pohon sakura yang tumbuh bermekaran. Beberapa bunga sakura jatuh ke bawah. Memang ini sudah di penghujung musim semi.
Dan akhirnya mataku terpaku pada satu titik. Ku lihat sesosok gadis tengah duduk dibangku taman. Bangku biasanya, yang memang sudah menjadi tempat favorite nya. Rambut pirang nya terkuncir satu, seperti yang selalu ku suka. Wajah itu… wajah yang selalu muncul dalam pikiran ku, juga mimpi ku tiap malam nya.
a-aku tidak sedang bermimpi kan, ya? sekarang memang sudah malam… siapa tahu aku sekarang sedang bermimpi seperti biasanya. Tapi… mimpi kali ini mengapa begitu terasa nyata? Perlahan aku maju mendekat kearahnya. Dapat ku rasakan kaki ku gemetar. Debaran jantung ku pun memberontak di dalam, seakan ingin keluar.
Tinggal beberapa langkah lagi, tiba-tiba saja ia menoleh kearah ku. disaat itu lah aku berhenti. Ia… ia menatap ku. ia berdiri dari duduknya, dan tersenyum. Senyuman itu… senyuman yang selalu ku suka. Senyuman yang sudah sangat ku rindukan.
Tapi bukan itu yang membuatku terdiam kaku. Tatapannya… tatapannya lah yang membuatku tidak bisa bergerak. Ia… ia menatap ku tepat ke dalam mataku. Bola matanya bertemu dengan bola mataku. Tidak ada lagi tatapan kosong darinya. Ia… melihat ku. ia…… ia melihat ku??
“Akhirnya… aku bisa melihat mu, Sukechi.” Ia akhirnya bersuara sambil masih terus tersenyum. Suara itu… suara yang sudah sangat kurindukan. Dan dengan mulut mungil nya itu, ia mengatakan satu kalimat yang membuatku benar-benar terlonjak kaget. “Sukechi?” panggilnya.
“Ra… Rachan… ka-kau… kembali…” ujarku terbata-bata. Bahkan aku bisa mendengar suara ku menjadi serak.
“Tadaima.” Senyumnya senang.
“Ka-kau… kau kembali!” tanpa pikir panjang aku langsung berlari kearahnya dan memeluknya erat. “Okaeri.” Jawabku.
“Aku dengar lagu mu, aku juga lihat penampilan mu. Sugoii.” Bisiknya. Aku melepaskan pelukan ku dan menatapnya. Ku tatap dalam matanya. Aku bisa melihat cahaya dari matanya.
“Kau… kau melihat ku?”
“Hn! Aku melihat mu.” Senyumnya lagi.
“Kau melihatku…… kau…… akhirnya… kau melihat kearah ku.”
“……. Aku lihat semuanya. Mata mu, alis mu, hidung mu, mulut mu, … semuanya Sukechi. Seperti yang selalu aku ingat, kau selalu seperti ini. Sukechi, yang kusukai.” Ujarnya. Aku kembali memeluknya lagi. Kali ini lebih erat dibandingkan yang pertama.
“Jangan pernah pergi lagi dariku. Now you’re in my embraced, I’ll never let you go, … again.” Bisikku.
“…… Sukechi… aku suka lagu mu. Jadi… begitu ya liriknya? Aku… aku sangat suka.” Ujarnya.
“Arigatou…”
“Iie, aku lah yang harusnya berterimakasih. Arigatou ne, Sukechi…” ku rasakan Ragau balas memelukku. Ia membenamkan kepalanya ke dalam dada ku.
Awal musim semi, aku bertemu dengannya. Dan di akhir musim semi ini, … aku mendapatkan nya kembali…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar